Bahaya Dari Pujian

Saya masih ingat sebuah kejadian yang membuat saya berpikir dan merenung. Kejadian tersebut sebenarnya hanyalah kejadian sederhana yang mungkin terjadi setiap hari di sekeliling kita, namun terlewat oleh kita karena sudah menjadi sebuah kewajaran. Kejadian tersebut adalah seorang ayah yang sepertinya sedang berusaha meyakinkan dan membesarkan hati anaknya yang terlihat sedih karena sepertinya kalah dalam sebuah perlombaan. Dalam kejadian tersebut, ayahnya berkata “Sudah, Kak, tidak apa-apa. Kamu hebat sekali kok tadi. Penampilan kamu yang paling baik di sana, hanya kurang beruntung saja. Kamu punya kemampuan itu, lain kali pasti bisa menang! Sudah jangan sedih lagi.”

Saya memperhatikan kejadian itu dari tempat duduk saya yang berdekatan dengan mereka. Dan setelah mereka sekeluarga pergi dari tempat tersebut dan saya sudah pulang ke rumah. Saya masih belum bisa menghapus kejadian tersebut dari kepala saya. Kata-kata ayahnya masih terngiang. Hal tersebut adalah sebuah kejadian biasa, dan sangat masuk akal dilakukan oleh seseorang kepada orang yang dikasihinya. Anda juga mungkin akan melakukan hal tersebut jika berada di posisinya. Saya juga mungkin sudah sering melakukan hal tersebut. Kita akan memberikan kata-kata pujian dan penilaian positif untuk menghibur dan menyemangati orang yang kita kasihi agar menjadi bangkit kembali. Namun, hari itu saya berpikir bahwa mungkin apa yang dilakukan ayah tersebut, malah akan berbalik menjadi tidak produktif dan tidak sesuai dengan harapannya.

Apa yang membuat saya berpikir seperti itu?

Read More

Catatan Samping TEDx [Part 2] : Kesempatan Datang Ketika Kita Pantas

Tulisan ini adalah bagian dari serangkaian pembelajaran yang saya refleksikan dari pengalaman saya ketika menjadi Pembicara TEDxBinusUniversity.

Bagian 2.

TED Talks dan TEDx menjadi acara-acara yang sangat saya kagumi dari sejak lama. TED menjadi tempat saya untuk mendapatkan banyak pembelajaran baru, mencari bahan untuk artikel tulisan dan pelatihan/seminar, maupun hanya sekedar untuk terinspirasi dengan ide-ide yang dibagikan di sana oleh para pembicara yang luar biasa. Para pembicara di sana orang-orang yang dianggap merupakan ahli di bidangnya, para peneliti, para penulis, dsb. Sebagian besar penulis buku favorit saya dan orang yang saya kagumi merupakan pembicara di TED atau TEDx.

Mempertimbangkan betapa saya menyukai video-video TED TALKS ataupun TEDx, serta kenyataan bahwa saya adalah seorang trainer, seorang pembicara, seorang penjaja ide, maka menjadi sangat wajar kalau saya ingin sekali suatu saat nanti akan menjadi seorang pembicara TEDx. Keinginan saya untuk menjadi pembicara TEDx memiliki intensitas yang sama besarnya dengan saya ingin menerbitkan buku sendiri.

Ketika akhirnya kesempatan itu datang, saya tanpa berpikir panjang langsung merengkuhnya dengan sesegera mungkin.

Read More

Catatan Samping TEDx [Part 1] : Jangan Pernah Anggap Remeh Dirimu

Tulisan ini adalah bagian dari serangkaian pembelajaran yang saya refleksikan dari pengalaman saya ketika menjadi Pembicara TEDxBinusUniversity.

Bagian 1.

TED Talks dan TEDx menjadi acara-acara yang sangat saya kagumi dari sejak lama. TED menjadi tempat saya untuk mendapatkan banyak pembelajaran baru, mencari bahan untuk artikel tulisan dan pelatihan/seminar, maupun hanya sekedar untuk terinspirasi dengan ide-ide yang dibagikan di sana oleh para pembicara yang luar biasa. Para pembicara di sana orang-orang yang dianggap merupakan ahli di bidangnya, para peneliti, para penulis, dsb. Sebagian besar penulis buku favorit saya dan orang yang saya kagumi merupakan pembicara di TED atau TEDx.

TEDxSpeakers

Beberapa pembicara-pembicara acara TED atau TEDx di Dunia & Indonesia

Pada tanggal 18 Maret 2017, saya mendapatkan kesempatan untuk bergabung dalam jajaran pembicara TEDx. Saya diundang menjadi pembicara di TEDxBinusUniversity untuk berbicara mengenai topik kebahagiaan. Saya dengan perasaan sangat bersyukur menerima kesempatan ini tanpa perasaan ragu sekalipun. I don’t care if it’s TEDxJakarta or just TEDx(some)University. TEDx is TEDx. This is like a dream come true. Read More

Berani Berkarya

Bertahun-tahun berkecimpung di dunia training/workshop/seminar untuk pengembangan diri, saya seringkali didekati oleh peserta (anak sekolah, mahasiswa, pekerja profesional) di tengah-tengah jeda training/workshop, atau dikontek oleh mahasiswa yang menjadi associate trainer di Aethra Learning Center untuk sekedar bertukar pikiran dan meminta saran dari saya.

Dari semua topik yang pernah saya diskusikan dan beri saran (percintaan, masalah anak dan keluarga, masalah bos dan pekerjaan, dsb), ada satu topik yang paling sering dibicarakan dibandingkan dengan topik-topik yang lain. Topik itu adalah mengenai mimpi dan karya.

Banyak sekali yang berbicara mengenai mimpi dan karya yang ingin dilakukan, bahkan sebagian sudah sangat detil dan terdengar/terlihat/terasa menggebu ketika menceritakan apa yang ia mau. Sayangnya, sebagian besar juga dari yang bercerita lebih banyak merasa takut dan tidak tahu harus memulai dari mana.

Takut karena saya tidak bisa.

Takut karena saya kalah pintar.

Takut karena saya tidak punya kompetensinya.

Takut kalah saing dengan pesaing lain yang lebih kompeten.

Takut apa yang saya kerjakan jelek.

Takut karya saya tidak disukai.

Dan takut-takut lainnya.

Read More

Anti-Intelektualisme Adalah Kanker Dalam Masyarakat Indonesia

Pernahkah Anda merasa ada sesuatu yang sangat salah ketika membaca status-status di sosial media Anda atau membaca komentar-komentar di berita online?

Saya pernah.

Pernahkan Anda merasa bingung, miris, kesal, sedih (atau semuanya dicampur jadi satu), ketika melihat teman atau saudara kita sangat percaya dengan berita atau artikel hoax dari situs abal-abal di sosial media, lalu ia menyebarkan informasi tersebut dengan bangga dan ditambahkan kata-kata persuasif agresif seperti layaknya sales yang dikejar target?

Saya pernah.

Pernah berdebat mengenai sebuah topik di sosial media dengan seseorang yang justru lebih tertarik mengatai/menghina/melabel kita dibandingkan isi dari argumen yang sedang didebatkan?

Saya pernah.

Teman-teman, tiga hal di atas adalah sedikit dari ciri-ciri dari sebuah fenomena yang kita sebut sebagai anti-intelektualisme. Anti-intelektualisme adalah sebuah pandangan, pemikiran, sikap dan tindakan yang berseberangan, meremehkan, ataupun menolak ide-ide, teori, kajian-kajian yang menggunakan pendekatan keilmuan (ilmiah). Secara sederhana, anti-intelektualime adalah pandangan, dan tindakan yang jauh dari pendekatan intelektual.

Fenomena Anti-Intelektualisme

Fenomena Anti-Intelektualisme

Fenomena anti-intelektualisme ini tidak dapat kita abaikan dan kita remehkan begitu saja, karena dapat berdampak besar dalam persatuan bangsa dan negara kita. Anti-intelektualisme adalah kanker yang ada dalam bangsa kita, berlipat ganda pertumbuhannya atas bantuan sosial media, dan mulai merobek persatuan masyarakat kita.

Read More

Mengkhianati Esensi Agama Demi Membela Agama

Saya bukan seorang ahli agama, saya bukan pemuka agama, saya hanyalah seorang penganut agama yang tergelitik dan berefleksi atas apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Tulisan ini sama sekali tidak diperuntukkan untuk salah satu pihak agama tertentu, bukan masalah politik dan pilkada. Tulisan ini muncul akibat keresahan saya melihat demo kemarin dari TV ataupun rekaman video yang tersebar di sosmed, yang merekam ujaran-ujaran kebencian sampai pembunuhan untuk Ahok. Kok seram ya. Sebenarnya, kondisi serupa juga terjadi untuk agama lain di luar negeri, misal bhiksu di Myanmar yang membantai kaum muslim Rohingya, dsb.

“Kok agama jadi seseram itu, ya?” itu alasan tulisan ini keluar.

Agama bagi saya adalah sebuah petunjuk atau pegangan hidup bagi kita manusia agar kita mampu hidup yang harmonis, damai, penuh kasih sayang dan bermoral. Tentunya agama ini kita yakini adalah sebuah perintah/firman Tuhan yang diberikan melalui seorang nabi (messenger of God) dengan berbagai macam panggilan kita untukNya sesuai dengan agama keyakinan kita. Perkataan-perkataan dan kisah kebijaksanaan dari para nabi tersebut dituliskan dalam sebuah kitab suci yang kemudian menjadi pegangan kita dalam beragama sampai saat ini. Kemudian seiringnya berjalan waktu dan perkembangan yang terjadi dalam penyebaran agama, maka agama perlahan-lahan mulai mengembangkan atribut-atribut keagamaan yang membuat agama tersebut menjadi unik dan dapat dikenali oleh masyarakat. Atribut dapat berupa sebuah ritual cara beribadah, cara berpakaian, komunitas, logo, dsb. Atribut agama, biasa dipengaruhi secara kental oleh adat budaya di mana agama tersebut berkembang, oleh karenanya atribut agama bahkan dari agama yang sama bisa berbeda di lokasi yang berbeda.

Read More

Memaknai Rasa Kebangsaan

Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tahun ini, kita disuguhi 2 buah peristiwa yang menarik. Peristiwa tersebut memberi perayaan 17 Agustus 2016 sebuah warna yang berbeda. Peristiwa pertama adalah kejadian menteri ESDM yang diberhentikan dengan hormat karena ternyata memiliki 2 kewarganegaraan. Peristiwa kedua adalah kejadian seorang siswi SMA bernama Gloria Natapradja, yang berhasil melewati seleksi ketat dan berlatih selama berbulan-bulan untuk menjadi seorang anggota paskibraka pada upacara bendera di Istana Negara, yang pada akhirnya “dikeluarkan” karena ia ternyata dinyatakan sebagai seorang Warga Negara Asing (WNA) bukan Warga Negara Indonesia (WNI), sebab ayahnya berwarga negara Perancis dan ia memegang paspor negara Perancis.

Potongan berita diambil dari Kompas

Potongan berita diambil dari Kompas

Read More

Ujian Bagi Persatuan Indonesia

Saat kita tahu ada seorang suami berselingkuh, itu bukan artinya suami saya pasti berselingkuh. Saat kita dengar ada seorang istri yang membunuh suaminya sendiri, kita sadar istri kita juga bukan artinya pembunuh.

Kita juga sadar adalah sebuah kesalahan ketika kita menuding dan menghukum suami/istri kita sendiri atas perbuatan salah yang dilakukan oleh suami/istri keluarga lain. Karena ketika menuding dan menghukum anggota keluarga kita atas hal yang dia tidak dia perbuat (tapi diperbuat oleh orang lain di keluarga mereka sendiri), maka perpecahan akan terjadi. Kerukunan terganggu.

Bahkan kita seharusnya bersyukur karena punya suami/istri yang lebih baik dari suami/istri keluarga lain tersebut. Berkaca dari kejadian keluarga lain untuk saling berdiskusi agar tercegah kejadian tersebut di keluarga kita.

Keluarga kita adalah keluarga kita. Keluarga orang lain bukanlah keluarga kita. Read More

Optimisme vs Harapan

Salah satu pemahaman baru yang saya dapat dari pertemuan komunitas Positif Psikologi beberapa hari yang lalu yaitu harapan dan optimisme itu berbeda. Sadarkah teman-teman kalau seseorang bisa berharap tapi tidak optimis. Memiliki harapan akan perubahan tapi tidak percaya/optimis bahwa apapun yang dilakukan dapat membawa perubahan.

Mungkin itu juga sebabnya banyak orang yang setelah “jatuh” dan mengalami kesulitan-kesulitan, ia tetap dapat bertahan, tetapi tidak melakukan banyak hal yang dapat mengubah kondisi hidupnya untuk menjadi lebih baik. Hal itu disebabkan karena orang tersebut tidak optimis bahwa tindakannya akan berdampak.

Contoh sederhana lain, cowok/cewek tertarik sama seseorang. Jatuh cinta. Berharap dia jadi miliknya. Memiliki harapan itu. Setiap hari membayangkan kegiatan yang akan dilakukan sama dia ketika sudah jadi pasangannya. Membayangkan emosi yang muncul kalau jadi pacarnya. Tapi ga pernah menyatakan perasaan atau melakukan sesuatu untuk bisa semakin dekat. Karena takut dan ga percaya atau ga optimis kalau tindakannya bakal berhasil mencapai harapannya.

Harapan bersifat pasif. Optimisme bersifat aktif.
Harapan membuat kita bertahan. Optimisme mendorong kita maju.

Siapakah kita?
Kita orang yang hanya penuh harapan atau orang yang optimis?

Kastena boshi

Belajar Berdamai Dengan Trauma Masa Lalu Dari Film The Babadook

[Artikel ini sebelumnya telah dipublikasi di majalah Cinemags dalam rubrik CineTherapy]

The-Babadook-Poster

“The Scariest monsters are the ones that lurk within our souls” – Edgar Allan Poe

Film horor asal Australia ini menceritakan kisah seorang wanita bernama Amelia, seorang single parent dari Samuel, anak laki-lakinya yang berusia 7 tahun. Suami Amelia meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang terjadi ketika sedang mengantarkan Amelia untuk bersalin. Amelia selamat dan sejak itu ia harus membesarkan Samuel seorang diri. Selama 7 tahun, Amelia berusaha menjadi orangtua yang baik bagi Samuel, walaupun Amelia sebenarnya belum benar-benar selesai bersedih atas kematian suaminya. Hal ini menjadi semakin sulit bagi Amelia karena Samuel tumbuh menjadi anak yang bermasalah. Read More