Bahaya Dari Pujian

Saya masih ingat sebuah kejadian yang membuat saya berpikir dan merenung. Kejadian tersebut sebenarnya hanyalah kejadian sederhana yang mungkin terjadi setiap hari di sekeliling kita, namun terlewat oleh kita karena sudah menjadi sebuah kewajaran. Kejadian tersebut adalah seorang ayah yang sepertinya sedang berusaha meyakinkan dan membesarkan hati anaknya yang terlihat sedih karena sepertinya kalah dalam sebuah perlombaan. Dalam kejadian tersebut, ayahnya berkata “Sudah, Kak, tidak apa-apa. Kamu hebat sekali kok tadi. Penampilan kamu yang paling baik di sana, hanya kurang beruntung saja. Kamu punya kemampuan itu, lain kali pasti bisa menang! Sudah jangan sedih lagi.”

Saya memperhatikan kejadian itu dari tempat duduk saya yang berdekatan dengan mereka. Dan setelah mereka sekeluarga pergi dari tempat tersebut dan saya sudah pulang ke rumah. Saya masih belum bisa menghapus kejadian tersebut dari kepala saya. Kata-kata ayahnya masih terngiang. Hal tersebut adalah sebuah kejadian biasa, dan sangat masuk akal dilakukan oleh seseorang kepada orang yang dikasihinya. Anda juga mungkin akan melakukan hal tersebut jika berada di posisinya. Saya juga mungkin sudah sering melakukan hal tersebut. Kita akan memberikan kata-kata pujian dan penilaian positif untuk menghibur dan menyemangati orang yang kita kasihi agar menjadi bangkit kembali. Namun, hari itu saya berpikir bahwa mungkin apa yang dilakukan ayah tersebut, malah akan berbalik menjadi tidak produktif dan tidak sesuai dengan harapannya.

Apa yang membuat saya berpikir seperti itu?

Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang cerita ayah dan anak tersebut, kita bahas hal lain mengenai pujian. Hal ini dilakukan agar teman-teman memiliki pemahaman yang sama dengan saya, sehingga memudahkan teman-teman memahami kejadian tersebut.

Pujian Sebagai Mantra

Sudah sejak 10-20 tahun terakhir ini kita hidup dalam masa, di mana pujian menjadi sebuah mantra magis yang dianggap dapat membuat seseorang berkembang pesat, menjadi orang yang penuh dengan kepercayaan diri, termotivasi dan kemudian mampu memenuhi potensi tersembunyi dalam dirinya. Pujian dapat meningkatkan self-esteem seseorang karena dirinya mendapatkan umpan balik positif tentang dirinya. Mendapatkan hal yang positif tentang dirinya akan membuat seseorang menjadi nyaman dan yakin terhadap dirinya, akhirnya hal ini mendorong dirinya untuk mengeluarkan potensi terbaik dalam dirinya dan mampu mengerjakan atau mencapai hal-hal luar biasa dalam hidup.

Hal ini digaung-gaungkan oleh banyak buku-buku pengembangan diri, teknik-teknik parenting dan psikologi populer. Maka tidak aneh banyak orangtua mulai mengganti pendekatan ke anak menjadi teknik “positif” yang penuh dengan pujian dan penilaian positif. Itu pula yang dilakukan oleh banyak guru di sekolah untuk membantu peserta didik mendapat kepercayaan diri positif yang akhirnya (dengan harapan) mengoptimalkan kemampuan belajar dan hasil belajarnya. Bahkan, para profesional dan industri pun membawa teknik pujian ini ke dalam pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia di perusahaannya. Pujian dan penilaian positif kepada anak buah akan membuat karyawan merasa dihargai, lebih mengikatkan diri dengan perusahaan dan akhirnya berperforma baik dalam bekerja.

Semua masuk akal.

Kita pernah dipuji dan kita menyukai rasa yang kita rasakan setelah mendengar pujian tersebut. Kita bahkan menjadi lebih bersemangat setelah dipuji. Jika sedikit pujian bisa mendatangkan hal baik tersebut, apalagi dalam jumlah yang banyak. Memberi pujian dalam segala aspek dan konstan diberikan. Apa bahayanya? Apa sih akibatnya?

Ternyata ada bahaya yang tersamar dari sebuah pujian. Tidak semua pujian menghasilkan dampak positif.

Pujian dan Pola Pikir

Memang sebuah pujian yang tepat akan menghasilkan dampak positif yang luar biasa pada peningkatan kepercayaan diri dan performa diri, sehingga mampu mengoptimalkan potensi diri yang ada. Namun, jika pujian yang tidak tepat diberikan, efek yang terjadi akan 180 derajat berkebalikan dampaknya dari apa yang diharapkan. Pujian yang tepat dapat membuat seseorang merasa tidak aman terhadap dirinya, takut untuk mengambil resiko, tidak mampu belajar dari kesalahan dan menurunkan semangat motivasi seseorang untuk bertumbuh.

Carol Dweck seorang peneliti dan psikolog dari Amerika Serikat, dalam bukunya berjudul Mindset, mengatakan bahwa pemberian pujian dalam cara tertentu berpengaruh besar terhadap pembentukan keyakinan seseorang, terutama anak kecil.

Beberapa pujian akan mendorong keyakinan bahwa seseorang punya karakter menetap atau bakat tertentu. Dan dengan jenis pujian ini, maka seseorang tersebut menjadi teryakinkan bahwa kunci dari kemampuan/kepribadian seseorang dinilai terutama dari kemampuan atau bakat tersebut. Contoh : ketika seorang anak dipuji ketika mendapat nilai bagus dalam ujian matematika dengan pujian“kamu pintar sekali dalam matematika”; atau seorang karyawan dipuji karena berhasil memberi ide yang inovatif dengan pujian “kamu berbakat sekali nih, hebat!”; maka pesan yang tersampaikan dan terekam adalah kepintaran dirinya yang dihargai oleh orang lain terlihat melalui nilai ujian atau ide inovatif yang diterima oleh semua orang. Jika pada kesempatan lain, dirinya kesulitan pada area yang sama (ulangan matematika yang lebih sulit atau permasalahan perusahaan yang lebih kompleks), mereka akan bereaksi seakan-akan mereka telah sampai pada batas kemampuan/bakatnya dan cenderung untuk mudah menyerah. Bahkan, mereka yang dipuji dengan cara demikian, cenderung tidak berani mengambil resiko untuk menghadapi tantangan yang lebih tinggi karena takut kehilangan status kemampuan/bakatnya.

Dweck dan para koleganya, melalui proses penelitian yang panjang, berargumen bahwa pujian seharusnya berfokus pada usaha yang dikeluarkan seseorang. Pujian yang terfokus pada usaha mengajarkan anak kecil dan menyampaikan pesan penting bagi orang dewasa, bahwa dengan usaha, mereka mampu mengembangkan kemampuan dirinya dalam mencapai suatu hal. Memberi pujian yang terfokus pada usaha, akan memberi keyakinan bahwa usaha tersebutlah yang dihargai dan menjadi nilai penting dalam sebuah pencapaian. Mereka percaya bahwa mereka sedang mempelajari sebuah keterampilan baru dalam menghadapi tantangan tersebut dengan bereaksi berusaha lebih keras dibandingkan menyerah di hadapan sebuah tantangan berat. Pujian dengan cara ini akan membuat orang (terutama anak kecil) mengembangkan pola pikir berkembang (Growth Mindset).

Pujian dan Persepsi Atas Kegagalan

Dweck melakukan sebuah penelitian yang memberikan bukti dukungan atas pernyataannya. Dalam penelitian tersebut, Dweck dan koleganya meneliti ratusan murid sekolah, dengan usia remaja awal. Pertama, murid-murid tersebut diberikan 10 pertanyaan yang cukup sulit dari salah satu aspek tes IQ (nonverbal), di mana sebagian besar peserta mampu menjawab dengan cukup baik, lalu ketika selesai mengerjakan, para murid tersebut dipuji.

Sebagian dipuji dengan fokus kemampuan/bakatnya; “wow kamu berhasil menjawab benar (bilang saja) delapan soal. Itu skor sangat baik. Kamu pasti sangat pintar dalam hal ini.” Mereka diletakkan dalam posisi bahwa mereka memiliki bakat yang baik dalam hal ini sehingga memperoleh nilai baik.

Sebagian murid lainnya, dipuji dengan fokus usaha yang dikeluarkannya; “”wow kamu berhasil menjawab benar (bilang saja) delapan soal. Itu skor sangat baik. Kamu pasti berusaha sangat keras untuk menjawabnya.” Mereka diletakkan dalam posisi bahwa mereka tidak memiliki bakat istimewa, namun mereka melakukan hal yang seharusnya dilakukan untuk berhasil, yaitu berusaha.

Kedua grup tersebut sama persis pada awalnya, namun setelah menerima pujian, keadaan mulai berbeda. Murid-murid yang dipuji kemampuannya, mulai menunjukkan gejala-gejala seperti menolak menerima tantangan baru yang mungkin memampukan mereka belajar sesuatu yang baru dari sana. Mereka menolak melakukan sesuatu hal yang dapat menunjukkan kesalahan, yang berakibat pada rusaknya kepintaran/kemampuan mereka yang sudah dianggap baik. Kebalikannya, grup yang dipuji pada usahanya, 90% dari peserta bersedia mengambil tantangan baru yang dapat memungkinkan mereka belajar sesuatu darinya.

Lalu, peneliti melanjutkan penelitian dengan tetap memberikan sebuah soal yang jauh lebih sulit untuk dikerjakan oleh murid-murid dari kedua grup tersebut. Ketika dalam proses pengerjaan, mereka tidak mampu mengerjakan dengan baik (karena soal yang sulit), maka murid-murid peserta dari grup kemampuan mulai berpikir bahwa memang dasarnya mereka tidak pintar sama sekali. Kalau sukses berarti mereka pintar dan berbakat, maka hal yang kurang dari sukses (dalam hal ini tidak mendapatkan nilai yang baik), maka mereka itu kekurangan bukannya pintar.

Sedangkan pada murid-murid dari grup usaha, ketika dihadapkan pada kesulitan baru tersebut hanya berpikir sederhana : perlu usaha lebih! Nilai mereka yang tidak sebagus pada tes pertama tidak dilihat sebagai kegagalan. Hal tersebut tidak mencerminkan kepintaran/bakat mereka.

Tes dilanjutkan dengan tahap selanjutnya, di mana setiap anak diberikan soal dengan tingkat kesulitan yang lebih mudah, kembali seperti tingkat kesulitan awal. Murid-murid peserta dari grup kemampuan, sudah kehilangan minat dan kehilangan kepercayaan akan kemampuan dan kepintaran mereka. Mereka yakin mereka tidak istimewa, sehingga ketika soal tersebut bahkan lebih mudah, performa mereka jauh memburuk dibandingkan saat mereka memulai penelitian ini. Hasil yang mereka peroleh malah semakin buruk.

Sedangkan, bagi murid-murid peserta di grup usaha, menunjukkan performa yang semakin membaik. Mereka menggunakan pengalaman menghadapi soal-soal yang sulit untuk mempertajam kemampuan mereka, memperhatikan pola-pola yang ada dan memikirkan strategi baru yang adaptif untuk mengerjakan soal-soal tersebut. Hasilnya adalah mereka memperoleh hasil yang sangat jauh berbeda dari murid-murid di grup satunya.

Karena pada penelitian ini, tes yang digunakan adalah salah satu aspek tes IQ, maka dapat dikatakan bahwa dengan pujian yang tepat, maka dapat meningkatkan tingkat IQ anak. Namun, dengan pujian yang salah, maka akan menurunkan tingkat IQ anak.

Pujian dan Kritik Berdasarkan Fakta

Kembali kepada ayah dan anak pada kejadian awal cerita saya. Semoga setelah Anda mengikuti sejauh ini, Anda mulai mengerti mengapa saya termenung dan berpikir ketika menyaksikan kejadian ayah dan anak tersebut.

Saya terdiam dan berpikir bukan atas apa yang dilakukan oleh ayahnya. Menghibur dan menyemangati seorang anak (teman, saudara, pasangan, dsb) adalah hal yang wajar dan baik dilakukan. Namun, apa yang diucapkan dalam usaha untuk menghibur dan menyemangati itulah yang menyentak saya. Ayah tersebut menghibur dan menyemangati dengan cara memberikan pujian. Namun, pujian tersebut pada dasarnya bukanlah pendekatan untuk mengajarkan menghadapi kekalahan/kesalahan, tetapi melindungi dari kekalahan/kesalahan. Kedua hal tersebut sangat berbeda, dan akan menghasilkan tingkah laku yang berbeda pada anak tersebut.

Sudah, Kak, tidak apa-apa. Kamu hebat sekali kok tadi. Penampilan kamu yang paling baik di sana, hanya kurang beruntung saja. Kamu punya kemampuan itu, lain kali pasti bisa menang! Sudah jangan sedih lagi.”

Kalimat di atas menyampaikan beberapa pesan bagi saya, yaitu :

  1. Kamu hebat, bahkan yang terbaik dalam kompetisi.
  2. Kamu hanya kurang beruntung.
  3. Kamu punya kemampuan mumpuni, kesempatan selanjutnya pasti menang.

Ketika pesan pertama yang disampaikan (kamu paling baik dalam kompetisi). Pujian seperti pada dasarnya tidak tulus. Karena kemungkinan besar, ayahnya tahu bahwa anaknya bukan yang terbaik dalam kompetisi itu sehingga belum berhasil, dan anaknya sendiri pun tahu akan hal tersebut. Pujian tersebut menjadi kosong. Pujian tersebut tidak menawarkan cara apapun yang dapat dipelajari untuk bangkit maupun berkembang.

Pesan kedua (kamu hanya kurang beruntung) memberikan sebuah pesan bahwa ada hal yang lebih besar dari usaha kita, yaitu keberuntungan, yang mempengaruhi hasil yang kita peroleh dalam hidup.

Pesan ketiga (kamu punya kemampuannya, selanjutnya pasti menang) mungkin adalah salah satu pesan paling berbahaya, karena bukankah kemampuan diri yang akan mengantar seseorang menuju tujuan tertentu (dalam hal ini menang). Jika kali ini kita kalah padahal kita sudah punya kemampuan itu, apa yang memastikan bahwa lain kali kita akan menang? Atau memang kita tidak sebaik apa yang kita pikirkan, kita tidak memiliki kemampuan sebaik itu, maka sekarang kita kalah?

Saya kemudian berpikir, apa yang seharusnya bisa disampaikan oleh ayahnya kepada anak tersebut dengan cara lebih tepat, yaitu : 1) sesuai dengan fakta, dan 2) terfokus pada usaha.

Maka saya merasa bahwa akan lebih bermanfaat dan memberikan pesan yang tepat dan konstruktif kepada anak jika hal yang diucapkan adalah

“Kakak, ayah mengerti perasaan kamu. Kamu mungkin merasa kecewa atas kegagalan kamu ini, padahal kamu sudah memberikan usaha yang terbaik. Namun, sayangnya kamu belum dapat memenangi pertandingan ini saat ini, karena di sana masih banyak anak-anak lainnya yang telah lebih lama berlatih, lebih giat berlatih dan berusaha lebih keras dibanding kamu. Jika kamu merasa hal ini penting buat kamu, maka pastikan kamu berlatih jauh lebih keras daripada diri kamu sekarang, jauh lebih disiplin dari kamu sekarang dan berusaha lebih giat lagi demi mencapai keinginan kami ini. Ayah sayang kamu dan bangga dengan niat kuat kamu.”

Kalimat di atas bukanlah sebuah upaya untuk menunjukkan saya lebih baik dibandingkan ayah tersebut. Kalimat di atas hanyalah sebuah upaya untuk belajar bersama atas pengetahuan yang saat ini telah kita ketahui bersama. Saya yakin dengan pengetahuan yang sama, pengalaman dan usaha yang tepat, maka semua orang dapat membuat kalimat yang mungkin jauh lebih tepat dan berdampak dibandingkan kalimat saya tersebut.

Kesimpulan

Pujian yang diberikan kepada seorang anak selama bertahun-tahun masa hidupnya tumbuh dan berkembang, dapat menjadi sebuah hadiah paling indah untuknya sebagai modal dirinya di masa mendatang, atau dapat menjadi kutukan paling buruk. Dengan pujian yang terus diberikan dengan salah, seorang anak dapat meyakini dan memiliki keyakinan yang salah atas kemampuan/kepintaran dan seberapa dirinya. Namun dengan pujian yang tepat, seorang anak dapat bertumbuh menjadi seorang pembelajar yang pantang menyerah, percaya bahwa dengan usaha yang tepat dan pola pikir yang tepat, dirinya mampu menghadapi tantangan apapun yang ada di hadapannya selama dirinya hidup.

Hal ini pun penting bagi teman-teman yang memiliki profesi sebagai seorang pemimpin, seorang manager, profesional, memberi pujian mampu mendorong sebuah keyakinan diri yang tepat, sikap berani mencoba, kreativitas, pantang menyerah dan kedisiplinan usaha yang menghasilkan performa kerja yang luar biasa, dan berujung pada hasil kualitas kerja yang menakjubkan. Semua itu bermula dari pujian yang tepat, diberikan kepada orang yang tepat, pada waktu yang tepat.

Mari kita pastikan pujian kita adalah hadiah bagi orang yang kita puji, bukan kutukan.

Kastena Boshi

 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.