Bertahun-tahun berkecimpung di dunia training/workshop/seminar untuk pengembangan diri, saya seringkali didekati oleh peserta (anak sekolah, mahasiswa, pekerja profesional) di tengah-tengah jeda training/workshop, atau dikontek oleh mahasiswa yang menjadi associate trainer di Aethra Learning Center untuk sekedar bertukar pikiran dan meminta saran dari saya.
Dari semua topik yang pernah saya diskusikan dan beri saran (percintaan, masalah anak dan keluarga, masalah bos dan pekerjaan, dsb), ada satu topik yang paling sering dibicarakan dibandingkan dengan topik-topik yang lain. Topik itu adalah mengenai mimpi dan karya.
Banyak sekali yang berbicara mengenai mimpi dan karya yang ingin dilakukan, bahkan sebagian sudah sangat detil dan terdengar/terlihat/terasa menggebu ketika menceritakan apa yang ia mau. Sayangnya, sebagian besar juga dari yang bercerita lebih banyak merasa takut dan tidak tahu harus memulai dari mana.
Takut karena saya tidak bisa.
Takut karena saya kalah pintar.
Takut karena saya tidak punya kompetensinya.
Takut kalah saing dengan pesaing lain yang lebih kompeten.
Takut apa yang saya kerjakan jelek.
Takut karya saya tidak disukai.
Dan takut-takut lainnya.
Buat saya sendiri, mimpi adalah tujuan, karya adalah proses. Tanpa proses, tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tanpa karya, mimpi kita tak akan terwujud. Ketakutan-ketakutan itu seringkali yang menjadi hambatan yang membuat kita tidak pernah berusaha berkarya dan pada akhirnya menghambat kita mencapai mimpi dan tujuan kita.
Kenapa takut itu muncul?
Kembali ke cerita saat saya berdiskusi dengan peserta training/workshop ataupun mahasiswa associate trainer saya. Hasil diskusi lebih mendalam dan ditambah dengan hasil refleksi diri saya sendiri, saya menemukan bahwa ada 2 jenis ketakutan dan keraguan yang menghambat seseorang memulai untuk berkarya.
- Ketakutan dan keraguan berkaitan diri sendiri (tidak bisa, tidak mampu, tidak kompeten, dsb)
- Ketakutan dan keraguan berkaitan dengan karya (mulai dari mana?, kualitas karya yang jelek, dsb)
Mari kita bahas dan hancurkan satu per satu.
Takut soal kemampuan diri sendiri
Menurut pengamatan dan pemikiran saya, sumber ketakutan yang akhirnya menahan diri kita adalah perbandingan unrealistic yang kita buat sendiri dalam pikiran kita.
Kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang menginspirasi kita atau orang yang kita tahu sedang menjalani mimpi / berkarya seperti yang kita inginkan. Terinspirasi oleh mereka adalah hal yang baik. Tetapi membandingkan diri kita saat ini dengan mereka saat ini, itu adalah hal yang keliru, karena jelas kita pasti akan terlihat payah dan kalah. Karena kita yang baru mau memulai berkarya, ia sudah berkarya bertahun-tahun mendahului kita. Kita baru mau berproses, dirinya sudah berproses banyak.
Ini ibarat membandingkan kemampuan matematika anak SD dengan anak kuliah S1 jurusan matematika. Kalau anak tersebut berkata ke kita, “saya mah bego matematikanya dan tidak mungkin bisa kaya si kakak. Dia matematikanya jago banget, saya mah cuma bisa tambah kurang doang!”,
mungkin dengan mudah kita akan bisa berkata, “dek, kamu tuh masih SD. belajar matematika memang baru tambah kurang. kamu sekolah pintar-pintar, sampai akhirnya kuliah, kepintaran kamu juga sama. kamu bukan tidak bisa, kamu hanya belum belajar sejauh kakakmu.”
Sayangnya, seringkali kita seperti anak SD itu. Terinspirasi oleh seseorang dan mengadopsi mimpinya, mau berkarya sepertinya, lalu kita mulai membandingkan diri kita yang sekarang dengan dirinya yang sekarang. Akhirnya kita merasa inferior. Inferioritas lalu muncul ketakutan. Ketakutan membuat kita ragu untuk memulai.
Kalau mau membandingkan dengan adil. Bandingkan diri kita saat ini, dengan orang tersebut pada saat dirinya baru mau memulai berkarya. Sama-sama nol, sama-sama hijau. Maka kita akan melihat banyak persamaan antara diri kita dengan dirinya. Hanya satu hal yang mungkin akan membuat sebuah perbedaan besar, yaitu dia berani memulai berkarya.
Pertanyaannya adalah apakah kita berani memulai?
Beranilah memulai. Toh mereka yang sekarang hebat pun bermula dari nol. Mereka yang berkarya banyak dan besar pun mulai dari start yang sama. Saya dahulu merasa takut ketika ingin terjun ke dalam dunia training perusahaan, karena trainer-trainer ternama yang saya tahu sudah punya keahlian berjibun : ahli hipnoterapi lah, licensed NLP lah, ahli grafologi lah, ahli sertifikasi EQ lah, penulis best seller lah, dan sebagainya. Kemudian juga list kliennya juga keren-keren dengan sederet perusahaan besar.
Siapa saya dibanding mereka?
Anak muda berusia 26 tahun yang punya pemikiran dan ide akan bagaimana seharusnya sesuatu hal dijalankan. Gelar-gelar kompetensi saya tidak punya. Buku tidak punya. List klien juga tidak ada. Nol besar. Bagaimana harus memulai?
Setelah 5 tahun, sekarang, saya sudah punya list klien yang lumayan (yang akan terus bertambah), saya sudah punya satu buku (yang akan muncul buku selanjutnya) dan saya sudah punya beberapa kompetensi yang saya tidak miliki sebelumnya (yang masih akan bertambah terus). Semua itu proses yang perlu dijalani. Kita eventually akan sampai di tempat di mana orang yang kita pandang itu berada sekarang. Kita hanya perlu mulai berproses.
Ingat. Hasil tidak akan mengkhianati proses.
Takut akan kualitas karya kita
Saya setuju dengan apa yang pernah saya dengar dari seorang Pandji Pragiwaksono dalam 2 kesempatan (free seminar mengenai indiepreuner dan show Juru Bicara) mengenai hal ini. Saya berusaha mengutip walau tidak sama persis, namun bernada sama :
“Jangan takut kalau karya kita jelek pas akan memulai berkarya, karena udah pasti jelek! Lah, namanya juga baru pertama kali, ya pasti jelek! Tapi yang penting sudah mulai, daripada kita tidak pernah memulai!”
Bagi saya, karya itu memiliki 2 hal penting, yaitu :
- Bagaimana perasaan kita saat mengerjakannya.
- Kegunaan bagi orang lain.
Ketika kita bahagia dalam mengerjakan karya kita dan karya kita membawa kegunaan bagi orang lain (seberapa pun besarnya itu), maka lakukan. Tidak perlu pusingkan kualitasnya. Selama kita tahu, kalau kita sudah sepenuh hati dan semampu kita mengerjakannya, maka banggalah dengan karya kita.
Hal lain yang perlu diingat adalah hal yang sudah saya bahas di atas mengenai proses. Proses memiliki makna perbaikan yang berkelanjutan. Ketika kita berproses, maka kita selalu memperbaiki apa yang telah kita lakukan sebelumnya.
Ketika kita memiliki semangat dalam berproses, maka semua karya kita akan menjadi bertambah kualitasnya seiring berjalannya waktu.
Saya bermimpi mampu menulis sebuah buku, tapi saya takut tulisan saya jelek. Maka saya mulai menulis blog, di mulai mengenai kegiatan saya sehari-hari (hampir seperti diari) yang kemudian berlanjut dengan topik-topik pengembangan diri. Kalau saya lihat kembali tulisan lama saya, memang tulisan saya itu dulu buruk sekali. Alur penulisan berantakan, tata bahasa berantakan, antar paragraf idenya suka bertabrakan, pola pemikiran masih kasar, dsb. Namun, di setiap tulisan saya berusaha memperbaiki tulisan saya. Akhirnya, dari tulisan demi tulisan, akhirnya saya bisa menerbitkan sebuah buku dengan pola tulisan yang sudah cukup baik (walau ruang untuk perbaikan masih sangat besar). Itu adalah bukti bahwa kualitas karya membutuhkan proses dan proses tidak pernah instan terjadinya.

Acara bedah buku Manusia Apa Robot dan Book Signing. Buku Manusia Apa Robot adalah hasil dari sebuah proses panjang.
Sebagai kesimpulan. Jadi teman-teman, ketika kita memiliki mimpi dan mendapat “panggilan” untuk berkarya. Mulailah. Jangan takut sebab kita belum mampu atau belum berpengalaman, karena pada dasarnya semua orang yang sukses pun memulai dari dasar. Berproseslah, suatu saat kita akan mampu dan sama kompetennya dengan orang yang menginspirasi kita. Jangan takut akan kualitas karya kita. Semua yang pertama tidak sesempurna dan sebaik karya selanjutnya dari kita. Berproseslah, maka suatu saat kita akan mendapatkan karya yang berkualitas.
Cukup bermodal keinginan untuk memberi manfaat untuk orang lain dan hati kita bahagia dalam mengerjakannya, maka mulailah berkarya dan mulai berjalan mencapai sesuatu yang teman-teman mimpikan.
Kastena Boshi