Saat kita tahu ada seorang suami berselingkuh, itu bukan artinya suami saya pasti berselingkuh. Saat kita dengar ada seorang istri yang membunuh suaminya sendiri, kita sadar istri kita juga bukan artinya pembunuh.
Kita juga sadar adalah sebuah kesalahan ketika kita menuding dan menghukum suami/istri kita sendiri atas perbuatan salah yang dilakukan oleh suami/istri keluarga lain. Karena ketika menuding dan menghukum anggota keluarga kita atas hal yang dia tidak dia perbuat (tapi diperbuat oleh orang lain di keluarga mereka sendiri), maka perpecahan akan terjadi. Kerukunan terganggu.
Bahkan kita seharusnya bersyukur karena punya suami/istri yang lebih baik dari suami/istri keluarga lain tersebut. Berkaca dari kejadian keluarga lain untuk saling berdiskusi agar tercegah kejadian tersebut di keluarga kita.
Keluarga kita adalah keluarga kita. Keluarga orang lain bukanlah keluarga kita.
Logika sederhana itu saya yakin hampir semua orang menyetujuinya. Dan saya yakin sebagian besar bahkan sudah melakukannya dalam kesehariannya. Sayangnya, logika sederhana itu entah mengapa gagal dipahami ketika kita berbicara soal agama dalam skala negara sebagai keluarga besar kita.
Saya dari dulu sering (dan sekarang semakin sering semenjak kasus Tanjung Balai) membaca komentar-komentar di sosial media yang saling menyalahkan, menuding dan menghukum anggota keluarga sebangsa kita atas kesalahan yang dilakukan oleh pihak lain di negara lain!

Ini hanya sebuah contoh komen dari berita yang sedang menghangat belakangan ini.
Umat Muslim Indonesia seringkali dituding sebagai agama teroris dan penuh kekerasan, hanya karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak ISIS yang mengatasnamakan Islam dalam setiap tindakan terorisnya.
Umat Budha Indonesia sering dituding dan dihukum atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh pihak bhiksu di Myanmar.
Umat Kristiani Indonesia dicap dan dituding atas tindakan beberapa negara kristen di barat menekan dan mendiskriminasi warga negara muslimnya dan negara muslim lainnya.
Setiap tudingan yang kita buat untuk keluarga bangsa kita sendiri atas tindakan yang tidak kita lakukan inilah yang membuat kerukunan dalam bangsa kita bisa retak.
Perlu diwaspadai, sebuah tuduhan yang dikeluarkan mampu membuat orang/pihak yang kita tuduh malah melakukan tuduhan tersebut, walaupun awalnya ia sama sekali tidak melakukan tuduhan tersebut. “Daripada cuma dituduh, lakuin saja mendingan.” Tuduhan tak berdasar menjadi kenyataan. Dalam psikologi, hal ini disebut Self-fulfilling Prophecy.
So what we should do?
Satu, sadar bahwa apapun hal buruk yang dilakukan oleh umat agama apapun di luar negeri itu tidak berarti bahwa umat agama yang sama di Indonesia sama buruknya.
Dua, saling mengingatkan dan menguatkan gandengan tangan antar umat beragama di Indonesia agar konflik yang memecahkan persatuan di negara lain tidak terjadi di kita.
Tiga, sadarilah walau semua berbeda keyakinan agama, tetapi hampir semua dari kita adalah warga negara Indonesia yang cinta dan peduli dengan negara ini.
Saya Budhis. Saya Tionghoa. Tapi yang terpenting saya adalah warga negara Indonesia dan saya cinta dengan negara ini.
Dan saya yakin begitu juga dengan Anda.
Kastena Boshi