3 Pelajaran Yang Perlu Masuk Kurikulum Pendidikan Indonesia

Mengajar seorang anak tentang bagaimana cara berlayar, bisa menjadi tepat ataupun menjadi sia-sia.

Sia-sia adalah ketika mengajarkan kepada anak yang tinggal di daerah pergunungan.

Tepat adalah ketika mengajarkan kepada seorang anak yang tinggal di daerah pantai atau kampung nelayan.

Sia-sia mengajarkan cara berlayar ke anak gunung, karena kebutuhan untuk berlayar minim atau bahkan tidak ada.

Tepat mengajarkan cara berlayar ke anak nelayan, karena mereka membutuhkan kemampuan tersebut untuk menunjang kehidupannya sehari-hari.

Melalui contoh di atas, kita melihat bahwa apakah suatu mata pelajaran itu tepat diajarkan atau hanya sebuah kesia-siaan, semua tergantung dengan relevansi mata pelajaran tersebut dengan kehidupan murid. Dengan kata lain yang lebih sederhana, pembelajaran yang baik harus memperhatikan kebutuhan anak-anak tersebut.

Better education Better nation

Ketika kita mengajarkan kepada seorang anak yang tidak ada relevansi dengan kehidupannya, baik sekarang ataupun di masa depan, maka hal tersebut menjadi sebuah kesia-siaan besar bagi sang murid. Anak tersebut telah menghabiskan berpuluh-puluh jam mempelajari sesuatu pelajaran yang penggunaan dalam kehidupannya sangat minim.

Sekarang kita berbicara tentang mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan Indonesia.

Saya pribadi merasa bahwa mata pelajaran yang ada dalam kurikulum pendidikan kita, sebagian dapat digolongkan ke dalam kategori sia-sia, sebagian lagi masuk ke dalam kategori yang sudah tepat. Tetapi, selain kedua kategori tersebut, ada kategori ketiga. Kategori ini terdiri dari mata pelajaran-mata pelajaran yang  relevansinya dengan kebutuhan di masyarakat sangat tinggi, tetapi belum masuk dalam kurikulum. Sederhananya : dalam kehidupan sangat dibutuhkan tetapi tidak diajarkan di sekolah-sekolah.

Pada kesempatan ini, saya ingin menuliskan opini mengenai mata pelajaran yang seharusnya dimasukkan dalam kurikulum kita, dengan alasan karena kebutuhan akan pelajaran tersebut sangat tinggi. Tetapi, sejauh ini masyarakat kita belum sadar atau mungkin meremehkan tingkat kepentingannya.

Opini saya ini didasarkan dari pengamatan pribadi dan tentunya dipengaruhi juga oleh ilmu psikologi yang merupakan latar belakang pendidikan saya. Saya meyakini bahwa ada tiga kebutuhan besar bagi anak-anak murid dalam kehidupannya, di mana kebutuhan itu belum terakomodir oleh kurikulum pendidikan yang ada. Saya percaya bahwa ketiga hal tersebut harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional demi anak-anak murid Indonesia mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan bangsa-bangsa lain.

1. Pendidikan Emosi /EQ

Sebenarnya saya telah mengeluarkan argumentasi pada tulisan terdahulu saya yang berjudul “sekolah : pabrik penghasil robot [?]” , tetapi saya akan kembali sedikit membahas argumentasi saya di tulisan ini.

Kepekaan akan emosi adalah langkah pertama untuk mengelola emosi.

Kepekaan akan emosi adalah langkah pertama untuk mengelola emosi.

Manusia pada dasarnya mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupannya. Kita pada dasarnya tahu apa yang harus dilakukan untuk semua masalah yang kita hadapi. Kita mampu menimbang baik-buruknya, mampu mengetahui dengan sadar apa yang menjadi akar masalahnya, bahkan seringkali kita sudah mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut sejak awal. Apalagi jika kita telah memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, maka kemampuan problem solving setiap dari kita sebenarnya sudah sangat mumpuni. Namun, semua itu dengan catatan penting kalau orang tersebut mampu berpikir dengan jernih dan tidak terganggu oleh gejolak emosi.

Sebagian permasalahan yang kita hadapi rata-rata cukup sederhana, tetapi karena ada gejolak emosi yang kita alamilah yang membuat semua permasalahan tersebut menjadi rumit. Gejolak emosi seperti : marah, kecewa, sedih, merasa tidak berdaya, sakit hati, takut, dan sebagainya, membuat kepala kita tidak jernih dan permasalahan menjadi terasa berat. Dan hampir seluruh permasalahan yang menghadang kita, datang dengan ditemani oleh gejolak emosi tersebut. Oleh karena itu sering terdengar ucapan orang yang ingin membuang emosinya demi mampu menghasilkan kemampuan problem solving dan decision making yang jauh lebih baik.

Kabar buruknya adalah kita tidak bisa membuang emosi dari diri kita sama sekali. Emosi adalah bagian dari psikologis manusia yang tidak dapat kita buang. Lagipula mengapa harus membuang emosi kita hanya demi kemampuan problem solving yang lebih baik. Daripada berkeluh kesah terhadap emosi yang tidak dapat kita buang, lebih baik kita berusaha untuk melatihnya. Sesungguhnya ketika kita dapat melatih emosi kita, maka kemampuan problem solving kita akan semakin membaik. Bahkan sesungguhnya emosi adalah elemen terpenting dari problem solving yang baik, yang selama ini diremehkan.

Daniel Goleman - out of control emotions make smart people stupid

Ketidakmampuan menyadari emosi dan mengelola emosi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari hampir seluruh kenakalan dan pemberontakan remaja, seperti penggunaan narkoba, tawuran, bullying, dsb. Serta menjadi cikal bakal dari perbuatan kejahatan seperti : pencurian, pembunuhan dan pemerkosaan.

Kementerian Agama Indonesia pernah menyatakan dan mengkaji kemungkinan untuk menambah jam pelajaran agama di sekolah-sekolah, demi menekan kenakalan dan kejahatan remaja. Saya kutip dari artikel okezone.com dengan judul Moral Merosot, Jam Pelajaran Agama Harus Ditambah, diterbitkan Senin, 18 Februari 2013. Dalam artikel tersebut tertulis :

“Kami prihatin dengan kondisi remaja di Depok. Misalnya saja, enam dari 100 pelajar sudah melakukan seks pranikah. Sebenarnya, kenakalan remaja ini adalah gejala umum, hanya saja kami ingin agar degradasi moral ini diminalisasi. Salah satunya, melalui penambahan jam pelajaran agama Islam,” papar Naseri kepada wartawan, Senin (18/2/2013).”

Permasalahan utamanya adalah kenakalan dan kejahatan remaja berawal dari permasalahan emosi yang dialami remaja. Sedangkan, kurikulum pendidikan kita sangat menitikberatkan pada kemampuan logika akademis. Bahkan mata pelajaran pendidikan agama yang seharusnya meningkatkan kecerdasan spiritual dan emosional murid, malah bertransformasi menjadi pendidikan logika akademis. Anak diminta menghafal ayat-ayat tertentu dan bahkan ada ujian tertulisnya. Sehingga esensi mempelajari agama demi membentuk karakter positif, malah menjadi penambah beban stres belajar anak.

Kebutuhan anak-anak akan pendidikan emosi tidak diakomodir dengan baik. Anak tidak pernah diajarkan untuk menyadari emosi apa yang sedang dirasakannya, bagaimana mengelolanya dan cara mengekspresikannya dengan tepat. Padahal kemampuan mengatur emosi yang baik merupakan modal utama untuk mampu menjadi sukses dan memiliki kehidupan yang lebih baik dan bahagia.

 2. Pendidikan Penggunaan Internet Bertanggung Jawab

Pada tulisan terdahulu yang berjudul Pendidikan Indonesia Gagal Move Onsaya mengkritisi pendidikan kita belum mengakomodir kebutuhan murid yang berubah akibat dari revolusi internet.

Pendidikan Digital Citizenship

Pendidikan Digital Citizenship

Pendidikan seperti ini di luar negeri mulai marak dilakukan. Biasanya diberi nama dengan pendidikan digital citizenship. Pendidikan ini diberikan seiring berkembangnya perkembangan internet, sehingga seorang anak mampu menjaga dirinya sendiri dan bertanggung jawab dalam berkegiatan di dunia maya.

image003

Saat ini perkembangan teknologi, terutama sosial media membuat manusia terkoneksi dengan seluruh dunia secara harafiah. Hal ini membuat anak murid menjadi mudah sekali memperoleh informasi tentang apapun hanya dengan beberapa klik, dan semua itu tanpa filter apapun. Selain itu, anak mampu mengunggah (upload) informasi apapun (foto, gambar, pemikiran dalam bentuk tulisan, video, dsb) ke internet.

Kemudahan berbagi informasi tanpa batas inilah yang apabila tidak diiringi dengan pemahaman, etika dan tanggung jawab yang tepat, maka akan membawa dampak yang menakutkan. Seseorang anak dapat mencari dan tersesatkan oleh informasi yang ia dapatkan di internet. Namun di lain pihak, seorang anak dapat menyebarkan informasi yang bersifat personal, baik secara sadar maupun tidak. Di mana pada akhirnya informasi personal tersebut dapat berdampak buruk pada dirinya dan orang lain.

Seorang anak harus diajarkan sejak dini melalui institusi yang resmi dan legal (sehingga pengajaran dapat dipertanggungjawabkan) tentang :

  1. Bagaimana cara mencari, mengevaluasi dan menggunakan informasi yang terdapat di internet,
  2. Bagaimana cara memilah informasi yang dapat dibagikan di internet secara bertanggung jawab tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain.

Saya rasa dengan diberikannya pendidikan ini akan membuat seorang anak mampu menjaga dirinya sendiri dan bertanggung jawab dalam berinternet-ria. Sehingga pada akhirnya Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informatika) kita tidak perlu bersusah payah mencari dan menutup satu per satu website berkonten pornografi (baik faktual maupun “sepertinya itu pornografi”) demi menjaga moral anak bangsa. Hal yang perlu dilakukan cukup mendidik anak bangsa itu saja.

3. Pendidikan Politik

Opini saya untuk poin ketiga ini terinspirasi dari perkataan Stand Up Comedian Indonesia Sammy Not a Slim Boy yang disampaikannya pada shownya yang bertajuk : Tanpa Batas Vol.2.

Dalam show itu ia berargumen kalau anak SMA harus diberikan pendidikan politik, karena anak SMA ketika telah berumur 17 tahun, maka mereka langsung terlibat dalam dunia politik Indonesia sebagai calon pemilih aktif. Kalau mereka tidak diberikan pemahaman dan pendidikan politik, akibatnya mereka tidak tahu menahu soal kondisi politik Indonesia. Akhirnya ketika mereka diwajibkan untuk memilih, atas dasar apa mereka menentukan pilihan mereka tersebut?

Saya sangat setuju dengan pernyataan itu!

Pendidikan politik yang saya maksud di sini bukanlah pendidikan yang bertujuan mengajarkan siswa menjadi seorang politikus. Pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah pendidikan yang menjadikan siswa mengerti dan paham akan selak beluk politik Indonesia.

Mengapa hal tersebut penting?

kampanyedamaipemiluindonesia20091

Politik Indonesia adalah sebuah arena yang menentukan bagaimana perkembangan sebuah negara ke depannya. Siapapun yang memimpin bangsa kita akan secara signifikan mempengaruhi perkembangan bangsa kita. Semua itu dimulai dari pilihan yang ditentukan oleh rakyat dalam PEMILU.

Apabila rakyat yang merupakan calon pemilih buta akan politik, maka pilihan akan jatuh kepada pihak (partai/tokoh) yang paling populer. Di mana kepopuleran tidak selamanya berbanding lurus dengan kemampuan memimpin dan integritas pihak tersebut.

Menurut saya pribadi, alasan dibalik dari sebuah pemerintahan yang buruk, seringkali itu terjadi karena para pemilih di Indonesia buta politik. Sehingga ajang PEMILU menjadi sama saja dengan ajang Indonesian Idol.

Berkaca dari pengalaman pribadi saya saat pertama kali ikut PEMILU, saya kebingungan dalam menentukan pilihan. Saya bingung apa yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pilihan. Akhirnya saya pilih siapapun yang paling popular di lingkungan saya. Akibatnya, saat ini saya telah beberapa kali merasa kecewa dan menyesal karena telah memilih orang yang salah.

Saya yakin, kejadian saya itu juga terjadi pada banyak sekali pemilih di Indonesia, terutama para first-time voters.

Para siswa yang kemudian menjadi pemilih legal / first voter setiap tahunnya bertambah banyak, oleh karena itu suara mereka sangat signifikan. Bukankah sangat beresiko tinggi apabila mereka di minta memilih untuk suatu hal yang mereka tidak mengerti. Ketidakmengertian akan mendatangkan sebuah kebingungan. Kebingungan akan menjadikan kita rentan dibodohi oleh pencitraan para politikus. Ketika kita termakan oleh pencitraan, maka kita akan membuat sebuah pilihan yang salah. Oleh karena itu, pendidikan politik ini menjadi sangat penting.

Pendidikan ini, pertama-tama harus mampu menumbuhkan minat dan kesadaran politik para murid-murid muda. Karena selama ini politik selalu dianggap menjadi arena yang membosankan atau terlalu berlebihan, sehingga banyak orang malas memperhatikannya. Padahal dengan ketidakpedulian seperti itu artinya kita sedang mempertaruhkan masa depan bangsa kita sendiri.

Kedua, pendidikan ini harus mampu mengajarkan kepada para murid-murid apa yang harus diperhatikan dan dievaluasi dari para politisi sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan.

Kesadaran politik

***

Ketiga pendidikan di atas menurut saya penting dimasukkan ke dalam kurikulum. Tetapi saya tidak setuju kalau tiga hal tersebut masuk kurikulum dengan cara menambah jumlah pelajaran. Sekarang ini saja jumlah pelajaran di kurikulum sudah terlalu banyak bagi para anak-anak. Maka untuk dapat masuk, ketiga hal ini harus menggantikan tiga mata pelajaran yang sudah ada dalam kurikulum kita. Tetapi saya tidak akan membahas pelajaran apa yang harus keluar dari kurikulum. Saya justru ingin mendengar pendapat dari teman-teman yang membaca tulisan ini.

Menurut teman-teman, pelajaran apa yang perlu keluar dari kurikulum kita saat ini? Entah demi mengakomodir masuknya tiga pelajaran yang saya tuliskan di atas, atau memang karena pelajaran tersebut teman-teman anggap sia-sia. Tolong tuliskan di komen di bawah ini. Terima kasih.

Kastena Boshi

3 comments

  1. Steven Sutantro · May 29, 2014

    Terim kasih atas usulan ketiga mata pelajaran yg perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.
    Saya setuju sekali dg ketiga materi yg dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah kita. Hanya, kita memang perlu cerdik untuk mengintegrasikannya. Menurut pendapat saya, ada beberapa cara dlm memasukkan ketiga mapel tersebut dlm kurikulum nasional kita.

    Pertama, mentransformasi dan mengintegrasikannya dlm pelajaran sekolah yg sudah ada.
    Misalnya saja:

    Agama: membahas emosi dan cara mengelola emosi dg bijaksana.

    Pkn: membahas politik lebih praktikal dan relevan dlm masa kekinian

    Tik: membahas penggunaan teknologi digital dg tepat, kreatif, dan kritis.

    Integrasi ini bisa dilakukan dlm keseluruhan konten mata pelajaran atau dilakukan dlm materi tertentu. Lebih baik lagi guru mengganti materi yg kurang penting dlm mapel tsb dg ketiga konten yg lbh relevan.

    Kedua, jika option nomor 1 tidak memungkinkan, bisa saja dimasukkan ke dalam program sekolah untuk diajarkan scara berkala dan menjadi materi dlm:
    1. Jam wali kelas
    2. Assembly
    3. Seminar/Workshop
    4. Retreat/Camp

    Tentu saja dlm menerapkannya tidak sekedar momentum saja, tp perlu diadakan evaluasi dan follow up dg konsisten. Jdi tidak sekedar diadakan saja.

    Ketiga, jika option no.1 atau 2 sulit, saatnya guru beraksi dg menginisiasi ketiga mapel tsb dlm ekstrakurikuler. Memang harus memilih mapel mana yg mjd prioritas untuk diterapkan terlebih dahulu. Dan perlu dikemas dlm kegiatan ekskur yg aktif, menarik, dan kreatif. Buat saja klub ekskur spt klub EQ, klub politik (debat politik), klub Digital citizenship,dkk. Saya pribadi sudah mencoba memulainya di sekolah, dengan membuat ekstrakurikuler Digital Media yg mengajarkan siswa menggunakan media digital dg bijaksana, kreatif, dan tepat guna.
    Bisa dilihat gambaran kurikulumnya disini: http://www.digitalmediaclub.weebly.com. Ide ini pun dilatarbelakangi dg kegelisahan yg persis spt yg dikemukakan dlm Digital Citizenship. Beranggotakan sekitar 20 siswa, ekstrakurikuler ini mencoba memperlengkapi siswa dg berbagai keahlian digital.Meski masih jauh dri sempurna, paling tidak, siswa kita sudah mencoba belajar mengeksplorasi teknologi digital lebih kritis dan kreatif. Saya pun sedang melakukan penelitian bagaimana tanggapan siswa yg mengikuti klub yg sudah berjalan 1 tahun belakangan ini.

    Akhirnya,Sebenarnya ketiga mata pelajaran ini sangat penting, namun di tengah kekakuan kurikukulum nasional, pemerintah,sekolah, bahkan guru kita, saya yakin pendidik, orang tua, pemerhati pendidikan, dan masyarakat perlu melihat kesempatan untuk dapat mengintegrasikan ketiga mapel ini segera dg kreatif. Siswa perlu belajar sesuatu yg lebih relevan untuk masa depan mereka. Kembali lagi yg terpenting dlm menerapkan ketiga mapel ini, ya adalah kualitas gurunya, perlu ada pelatihan, coaching, workshop yg memperlengkapi guru mempelajari dan menerapkan ketiga mapel ini.

  2. Yudi Cahyudi · July 3, 2014

    In my opinion, school subjects that soon should be omitted are:
    1. English
    2. ICT
    3. Ethics

    Those 3 school subject are nowadays supposed to omit since they are practical (all about how and why), they can be obtained from daily social activities; at school, at home and in the society.

  3. Yudi Cahyudi · July 3, 2014

    English, ICT and Ethics are all to practice in the daily life, NOT to Learn. For ICT skill, students can get somewhere out of school like Multimedia Computer Learning Center that DIGIKIDZ has been offering since 2001.

Leave a Reply to Yudi Cahyudi Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.