Sekolah : Pabrik Penghasil Robot [ ? ]

Senin 3 Maret 2014, Jakarta kembali dihebohkan dengan berita seorang mahasiswa Unas tewas bunuh diri setelah meloncat dari lantai 5 gedung ITC Depok. Peristiwa ini mengundang banyak respon dari masyarakat di media sosial. Sebagian ada yang mengatakan bahwa hal yang dilakukan mahasiswa tersebut adalah tindakan egois dan bodoh, yang kemudian dengan cepat pula pernyataan tersebut disambut dengan kecaman dari banyak pihak. Pihak yang mengecam tersebut di timeline media sosial saya kebanyakan adalah mahasiswa psikologi. Saya sarjana psikologi. Bagi saya peristiwa bunuh diri adalah bodoh.

Sebelum teman-teman mulai mengecap saya buruk, menutup halaman ini, atau langsung mengecam pernyataan saya, tolong lanjut baca penjelasan saya. Saya belum selesai.

Saya setuju dengan semua pihak yang mengatakan bahwa perilaku bunuh diri adalah sebuah kebodohan dari korban bunuh diri. Perilaku mengakhiri hidup demi menyelesaikan masalah itu bodoh, apalagi terkadang masalahnya sangat sepele. Sebelum menulis tulisan ini saya membaca beberapa berita berkaitan dengan bunuh diri. Ada kasus seorang anak SMA bunuh diri karena tidak diberi uang untuk membeli softlens oleh keluarganya. Ketika saya baca berita itu, saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Memang benar tindakan mereka bodoh. Akan tetapi ada 1 hal yang terlupakan oleh kita, yaitu :

kondisi psikologis kita tidak sama dengan kondisi psikologis mereka para bunuh diri. 

Hal yang bagi kita adalah sebuah masalah yang bisa diselesaikan dengan mudah, tidak mampu terpikirkan oleh mereka. Saat itu mereka sedang menghadapi gejolak emosi negatif yang sangat besar dalam diri mereka dan disayangkan pada akhirnya menenggelamkan kemampuan mereka berpikir jernih. Emosi negatif itu banyak, contoh yang sering dirasakan oleh kita adalah marah, sedih, takut, perasaan tak berdaya, kesepian, dan sebagainya.

Bagi teman-teman yang merasa mereka bodoh (termasuk saya) dan yang menganggap kita memiliki logika yang kuat (termasuk saya), kita memiliki kerentanan yang sama dengan para korban tersebut. Jika suatu saat, kita berada dalam kondisi mereka di mana gejolak emosi negatif sangat besar dan menenggelamkan logika kita, maka pada saat itu mungkin saja kehebatan logika kita tidak dapat mencegah kita untuk melakukan hal bodoh.

“Out of control emotions make smart people stupid” ~Daniel Goleman

Bukti yang bisa saya sodorkan adalah banyaknya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh kaum terpelajar seperti para ilmuwan [baca : 10 ilmuwan dunia yang mati bunuh diri]. Secara kemampuan logika, saya rasa kemampuan para ilmuwan tersebut di atas rata-rata manusia pada umumnya, dan tetap mereka tidak terhindar dari tragedi upaya bunuh diri.

Izinkan saya menjelaskan manusia menjadi sangat rentan akan perilaku-perilaku bodoh saat dirundung gejolak emosi negatif.

Otak manusia dibagi dalam 3 bagian besar, yaitu :

  1. Neo Cortex : bertanggung jawab atas kemampuan analisa, dan hanya dimiliki manusia.
  2. Otak tengah / limbic system : bertanggung jawab atas respon emosi.
  3. Batang otak / otak reptil : bertanggung jawab atas respon insting seperti reproduksi & makan.

Bagian otak

Cara kerja otak dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

Normal Route / Rute Normal

Saat otak mempersepsikan kondisi / stimulus yang kita hadapi aman bagi diri kita – emosi positif seperti rasa aman kemudian muncul – otak menganalisa lebih mendetail, kompleks dan menyeluruh akan kemungkinan hal yang dapat kita lakukan – terjadi sebuah perilaku.

Fast Route / Rute Cepat

Saat otak mempersepsikan kondisi / stimulus yang kita hadapi mengancam dan berbahaya bagi diri kita – emosi negatif seperti takut, marah, tidak berdaya kemudian muncul – otak menganalisa lebih mendetail, kompleks dan menyeluruh akan kemungkinan hal yang dapat kita lakukan – terjadi sebuah perilaku.

Jadi secara insting otak meloncati satu bagian yaitu bagian proses analisa lebih lanjut (logika) dan langsung mengambil tindakan.

How the brain works

Jadi secara sistem kerja otak ketika terjadi merasakan sebuah bahaya dan timbul emosi negatif, maka akan segera “mematikan” bagian logika dan langsung membuat sebuah tindakan spontan demi menghadapi bahaya tersebut. Inilah sebabnya mengapa kalau kita dirundung emosi negatif yang berlebih dapat menampilkan perilaku bodoh, dari yang sederhana seperti menonjok tembok berakhir dengan tangan patah, bahkan sampai mengakhir hidup.

Kondisi di atas di mana terjadi pembajakan emosi ini sebenarnya dapat dihindari dengan cara mengasah kecerdasan sosio emosional dari usia dini. Sayangnya kondisi di pendidikan di seluruh dunia (bukan hanya di Indonesia) masih sangat berat sebelah. Sistem pendidikan kita masih sangat menitikberatkan kemampuan logika. Kita dari TK sudah diajarkan baca tulis, di sekolah diajarkan logika matematika, logika pemecahan masalah (problem solving), logika berbahasa, dan sebagainya. Tetapi tidak ada sedikitpun yang mengajarkan kepada anak bagaimana cara mengatasi marah, mengatasi rasa putus asa, mengatasi penolakan, mengatasi ketakutan. Tidak ada. Kecerdasan emosi tidak pernah menjadi bagian dari rencana sistem pendidikan. Padahal dengan emosi yang tidak terdidik, maka logika yang terdidik dapat terkalahkan dalam seketika. [baca : kumpulan tweet saya tentang emosi vs. logika]

fokus pendidikan

Sistem pendidikan di Amerika Serikat sampai pada tahun 1990, masih sangat menitikberatkan pada IQ atau dalam tulisan saya ini saya menuliskannya sebagai logika. Titik balik terjadi pada saat 2 psikolog Peter Salovey dan John Mayer (ini bukan nama penyanyi) dalam penelitiannya berhasil mematahkan pandangan umum : orang ber-IQ tinggi tidak berhubungan dengan kesuksesan. Lalu hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian Daniel Goleman yang menyatakan bahwa EQ (kecerdasan emosi) berkontribusi  80% terhadap kesuksesan.

IQ ternyata bukan prediktor kesuksesan.

Revolusi pendidikan di Amerika Serikat sudah berjalan selama 24 tahun sejak tahun 1990. pendidikan yang menekankan kecerdasan emosi sudah mulai masuk dalam kurikulum sekolah. Walaupun demikian sampai sekarang pun pendidikan mereka masih menitikberatkan pada logika.

Sekarang kita berbicara sistem pendidikan di Indonesia. Apakah revolusi tersebut sudah terjadi?

Saya menawarkan program pelatihan/workshop kecerdasan emosi ke sekolah pun sering berakhir dengan penolakan. Kenapa? Karena sekolah tidak butuh. Bahkan sempat satu guru di satu sekolah yang berkata “lah masalah emosi gitu kan bukan urusan sekolah, tapi urusan keluarga masing-masing.”

Saya kehabisan kata-kata.

Sistem pendidikan kita saat ini tertinggal hampir 25 tahun di belakang sistem pendidikan di Amerika. Sekolah-sekolah di negeri kita masih saling berlomba untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki logika yang terbaik. Bahkan tidak jarang kita diajarkan untuk menghilangkan emosi kita demi menghasilkan kerja logika yang lebih baik.

Padahal emosi adalah elemen kemanusiaan yang membedakan diri kita dengan robot.

Apakah sekolah-sekolah di Indonesia adalah pabrik-pabrik penghasil “robot”?

Saya pribadi sangat berharap sistem pendidikan kita mulai melirik pendidikan emosi dan mulai memasukkan ke dalam sistem. Apabila pendidikan emosi mulai masuk dalam sistem pendidikan kita, maka seharusnya perilaku-perilaku bodoh (seperti upaya bunuh diri) yang sering terjadi dapat tercegah dan pelan-pelan menghilang.

Apakah saya berharap terlalu besar?

Kastena Boshi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.