Pendidikan di Indonesia itu kalau dilihat-lihat, itu mirip seperti kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Upah tenaga kerja dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan yang signifikan, tetapi biaya kebutuhan hidup terus berlari kesetanan. Tidak heran saat ini para buruh mulai gelisah dan bergerak protes. Kalau kondisi ini masih terus didiamkan, maka kemungkinan adanya mogok dan demo besar-besaran para buruh tidak akan terhindarkan.
Kondisi itu juga sama dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Upah kerja itu adalah sistem pendidikan dan guru. Sedangkan biaya kebutuhan hidup adalah murid-murid sekolah.

Saatnya para murid adakan demo demi pendidikan yang lebih baik
Seperti halnya upah buruh, sistem pendidikan dan guru (komponen utama dalam sistem pendidikan) selama bertahun-tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan. Tetapi kebutuhan murid yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi mengalami perubahan yang sangat besar dan kompleks. Kalau kondisi ini dibiarkan terus dan sistem pendidikan kita tidak mulai berevolusi secara cepat demi mengikuti kebutuhan murid, maka saya tidak berani membayangkan akan seberapa tertinggalnya kita dengan negara lain di dunia.
Indonesia sudah sangat sering sekali berganti-ganti sistem kurikulum. Sepertinya berganti setiap menteri pendidikan kita ganti. Tetapi apa yang sebenarnya berubah di setiap kurikulum itu?
Karena saya merasa, sejak dulu saya, adik kelas saya, sampai adik kelas yang jauh sekali beda umurnya, dan kemudian sekarang keponakan saya yang sekolah, sepertinya pelajaran sekolah masih sama. Isi pelajarannya sebagian besar sama. Guru saya masih banyak yang mengajar sampai sekarang dan sepertinya masih lama masa pengabdiannya. Dan cara mengajarnya pun masih sama. Ada sih yang diganti, tapi itu tidak bisa dibilang perubahan yang signifikan.
Bedanya paling dulu supersemar dimasukkan dalam pelajaran, sekarang (setahu saya) sudah dihapuskan. Dulu Jokowi tidak ada dalam soal UN, sekarang ada. Tidak signifikan.
Kurikulum 1994 untuk SD ada 9 mata pelajaran, kurikulum 2013 ada 8. Beda 1. Apa signifikannya? Kalau dulu 9, sekarang cuma 4, nah itu baru signifikan.
Bahkan perubahan harga gorengan jauh lebih signifikan dibanding pendidikan kita. Sekarang harga gorengan itu Rp2000 dapat 3. Pas jaman saya SD, gorengan harganya masih Rp75. Jadi kalau dulu dengan Rp2000 dapat sekitar 27 gorengan, bahkan mungkin dapat bonus 3 biar genap 30 gorengan. Sekarang cuma dapat 3! Dulu dan sekarang beda 27 gorengan. Ini baru signifikan namanya.
Sam D Putra, atau yang sering dikenal sebagai “Om Sammy Notaslimboy”, seorang stand up comedian, pernah menyinggung soal masalah kurikulum ini dalam shownya yang bertajuk TANPA BATAS VOL 2. Pernyataannya yang saya ingat berbunyi :
“Kurikulum selalu berganti setiap kali, tetapi ga ada bedanya sama sekali. Cuma ganti nama. Sekarang UN, dulu namanya EBTANAS. Sama aja dua itu. Dulu sebutannya kelas 1-6 SD, 1-3 SMP, 1-3 SMA. Sekarang kelas 1-12. Tetapi sebenarnya sama saja, setelah dari kelas 1-6, untuk masuk ke kelas 7, harus daftar di SMP. Setelah lulus kelas 9, harus daftar di SMA. Jadi ga ada bedanya. Mungkin saja menteri yang dulu cuma bisanya ngitung dari 1-6, ga bisa lanjut. Jadi gitu sudah sampe 6, balik lagi ke angka 1!”

Show Tanpa Batas Vol. 2 by Sammy @notaslimboy
Sekarang mari kita lihat kondisi kebutuhan para murid.
Seperti halnya biaya kebutuhan hidup bagi para buruh, kebutuhan murid berkembang sangat cepat. Semua ini diakibatkan oleh revolusi teknologi yang luar biasa. Berkat perkembangan teknologi yang luar biasa cepat, dalam 20 tahun terakhir kita mengalami perubahan yang luar biasa masif di seluruh aspek kehidupan.
Saya sekolah di mana internet baru mulai diperkenalkan di Indonesia. Sedangkan saat ini sebagian besar murid lahir ketika internet sudah dapat dibawa kemana-mana dengan menggunakan smartphone. Saat saya sekolah, sumber informasi kita adalah buku, sekarang adalah Google dan Wikipedia.
Murid saat ini adalah termasuk dalam generasi yang disebut dengan generasi Z atau net generation. Generasi Z adalah generasi yang lahir ke dalam dunia yang sudah terdigitalisasi. Net generation adalah sebutan untuk generasi yang lahir dari dari pertengahan tahun 1990 sampai saat ini. Mereka adalah penduduk internet pertama.
Mereka sejak kecil sudah mulai kenal dan akhirnya sangat fasih dalam penggunaan internet. Dengan kata lain, ini adalah individu-individu yang lahir dan tumbuh dewasa dengan internet sebagai gaya hidup. Tentunya cara belajar generasi ini berbeda dengan generasi saya (FYI saya generasi Y), dan cara mengajar generasi ini harus berbeda!
Ketika kebutuhan murid sudah jauh melebih apa yang mampu dijawab oleh sistem pendidikan & guru yang ada saat ini, maka itu masalah besar.
Beberapa ketimpangan antara metode pengajaran guru dan kebutuhan murid generasi Z belajar, antara lain :
1. Murid “dipaksa” duduk selama (kurang lebih) 8 jam per hari
Murid generasi Z dibantu dengan kemajuan teknologi dan internet mengalami kemudahan yang sangat mudah dalam mengakses informasi apapun yang dibutuhkan (berita, cheat games, review buku/film, lagu baru, dsb). Hasilnya, murid generasi Z memiliki rentang perhatian yang pendek. Generasi Z tidak dapat mempertahakan fokus dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan kemudahan informasi yang biasa mereka akses sehingga membuat mereka terbiasa untuk mendapatkan informasi beragam dalam waktu yang sangat singkat.
Kondisi ini kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka dikurung selama (kurang lebih) 8 jam setiap hari di kelas dan belajar mendengarkan guru. Jadi saya tidak heran kalau banyak guru yang mengeluh kepada saya kalau mengajar murid sekarang itu lebih susah dan lebih nakal. Bagaimana tidak bermasalah, ketika anak yang pendek fokusnya dipaksa duduk mendengarkan guru ceramah selama 10 jam pelajaran @45 menit.
2. Generasi visual kinestetik diajar oleh guru auditori
Terima kasih kepada hiburan multimedia dan video games, murid generasi Z sejak kecil sudah terpapar dan terbiasa dengan suguhan yang sangat menarik secara visual. Selain itu, video games maupun fasilitas pembelajaran berbasis multimedia yang telah diperkenalkan kepada mereka sejak kecil, secara konstan mendorong mereka untuk langsung mencoba/bergerak dalam belajar. Mental “pencet tombol ini, maka lihat apa yang akan terjadi.” membuat generasi Z menjadi sangat kinestetik. Butuh langsung mencoba.
Kenyataannya sekarang dalam kelas. Cara pengajaran guru di sebagian besar sekolah, bahkan di sekolah ternama, masih ceramah 1 arah dari guru. Guru sumber utama informasi, bukan dari sumber lain, dan penyampaian pelajaran adalah 1 arah. Bahkan di beberapa sekolah, murid bertanya boleh hanya ketika guru bisa menjawab. Sisanya murid cukup menelan bulat-bulat.
3. Cerdas teknologi Vs. Gagap teknologi
Bagi generasi Z yang lahir dalam dunia teknologi, remote TV, iPod and smartphone adalah anggota badan tambahan bagi mereka. Teknologi ini tidak bisa dilepaskan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, termasuk dalam proses pembelajaran. Mereka cenderung akan bergantung dan menggunakan seluruh fasilitas yang ditawarkan oleh teknologi saat ini dalam belajar.
Sayangnya, murid-murid di sekolah itu dilarang menggunakan teknologi. Mayoritas sekolah melarang siswanya membawa smartphone/Hp ke sekolah. Gadget menjadi sebuah “musuh” bagi sekolah dengan alasan akan mengganggu perhatian dari murid dalam menangkap pelajaran. Menurut saya, kemajuan teknologi akan sangat membantu guru dan murid dalam proses belajar mengajar, dan tidak boleh disingkirkan saja seperti itu.
Ketika guru-gurunya belum siap dengan kemajuan teknologi, jalan keluarnya bukan dengan menyingkirkan teknologinya, tetapi dorong guru-guru untuk belajar menggunakan teknologi dengan baik untuk mengajar!
4. Guru berusaha mengalahkan Google!
Kemudahan dalam mengakses informasi di internet, memudahkan mereka untuk mencari informasi apapun yang mereka butuhkan mengenai satu topik. Para murid dapat mengakses informasi bahkan sebelum diberikan di sekolah. Walaupun demikian, mereka mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan kemampuan menganalisa ratusan/ribuan bahkan jutaan informasi yang membanjiri mereka. Mereka kurang memahami cara mencari yang baik, mengevaluasi, menggunakan dan mempresentasikan informasi tersebut.
Jadi bukan saatnya guru mengajar hanya “menyuapkan” materi dan memberitahu konten pelajaran saja, karena tugas tersebut sudah bisa dijalankan oleh google dengan jauh lebih baik dibandingkan guru. Ketika guru di Indonesia tidak berniat dan memutuskan untuk tidak berubah, maka mohon maaf saja, menurut saya peran anda sudah tergantikan.
Peran guru bukan lagi sebagai penceramah, tetapi sebagai fasilitator.
Menjadi fasilitator berarti, guru tidak terfokus memberitahu tentang what. Peran guru sebagai fasilitator adalah untuk membantu murid untuk memahami why harus belajar materi itu. Biarkan murid menjadi memahami relevansi (hubungan) materi pelajaran dengan kehidupan dirinya secara umum, minat & bakatnya secara khusus. Setelah itu pandu murid untuk menemukan how (cara) untuk mengaplikasikan hal tersebut dalam kehidupannya.
Sebenarnya, cara mengajar ini harus diterapkan oleh guru saat mengajar murid dari generasi manapun, tidak terbatas hanya pada generasi Z. Ini yang seharusnya dilakukan dari dulu.

Saatnya guru berubah fokus dalam pengajaran
Contoh menjadi guru berperan sebagai fasilitator dalam belajar sejarah Ibu Kartini :
- Minta murid untuk mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang Ibu Kartini via internet. Pandu cara mencari informasi dari sumber yang valid dan terpercaya. Baik sekali apabila ini dikerjakan di sekolah bersama-sama menggunakan gadget, di bawah pengawasan guru.
- Ajak murid dalam kelas berdiskusi tentang : 1) poin pembelajaran apa yang didapat dari sejarah Ibu Kartini; 2) apa relevansi poin pembelajaran itu dengan kehidupannya?; 3) Perilaku apa saja yang perlu dikembangkan atau dihilangkan agar poin pembalajaran dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
- Ada baiknya guru membuat sebuah group baik berupa milis atau group FB atau komunitas online yang mampu memfasilitasi kebutuhan diskusi. Minta murid-murid untuk memposting tugas poin 2 ke dalam group online, lalu dorong untuk terjadi saling umpan balik dan pemberian opini atas pekerjaan teman-teman sekelasnya. Guru bertindak sebagai moderator.
- Setelah selesai, minta siswa membuat sebuah tulisan kesimpulan akhir dari hasil diskusi group kelas di internet. Kemudian tugas ini dipost kembali ke group. Hal ini membuat seluruh kelas mampu membaca pekerjaan semua murid, sehingga pemahaman akan materi akan semakin luas. Selain itu ketika terjadi perbedaan nilai, murid-murid dapat langsung melihat standar penulisan tugas seperti apa yang diharapkan.
Sejak dulu, saya selalu mendengar bahwa Indonesia pernah menjadi kiblat pendidikan di Asia, di mana banyak murid-murid mancanegara datang belajar di Indonesia. Sekarang terjadi kebalikannya, kita yang mengekspor murid ke luar negeri. Sayangnya lagi, jarang ada yang kembali untuk membangun Indonesia.
Banyak orang beranggapan bahwa kualitas pendidikan kita menurun tajam. Bagi saya pribadi, pendidikan kita tidak menurun kualitasnya. Kualitasnya tetap sama dengan masa lalu, ketika Indonesia menjadi kiblat pendidikan. Sejak saat itu, pendidikan kita hanya tidak pernah move on di saat negara lain telah mengikuti perkembangan kebutuhan jaman.
Jadi tidak heran mengapa banyak pemuda/i di negara kita yang gagal move on, karena sistem pendidikan yang mengedukasi pemuda/i kita juga gagal move on.
Mau sampai kapan?
Kastena boshi
Follow me @WilliamSBudiman
Selamat malam,
Saya Agatha, seorang guru di sebuah sekolah di Jakarta. Saya ingin memberi komentar atas tulisan Anda. Sebelumnya mohon maaf, karena ini mungkin akan terlihat sangat kasar, tetapi saya tidak punya cara lebih halus untuk menyampaikannya.
Apakah Anda pernah jadi guru resmi di sekolah? Apakah Anda paham betul sejarah pergantian kurikulum dari yang paling awal diterapkan di Indonesia hingga saat ini? Isi tulisan ini pendapat Anda pribadi, saya menduga Anda tidak melakukan riset sebelum menulis ke sumber yang tepat. Siapakah sumber yang tepat? Guru-guru di sekolah (negeri dan swasta), pejabat pemerintahan di Kemendikbud yang mengurusi kurikulum dan aturan pendidikan di Indonesia.
Mencari sumber tulisan dari stand-up comedian bisa Anda lakukan (jelas ada kutipannya, bahkan ada tautan namanya), tetapi sumber lain yang formal dan penting malah tidak bisa ditemukan pada tulisan Anda.
Kasihan sekali orang-orang yang membaca tulisan Anda dan tidak kritis dengan isi tulisan ini. Mereka akan mengganggap tulisan Anda ini sebagai kebenaran, dan akan mengganggap pendidikan di Indonesia tidak berkualitas (bahasa Anda: gagal move on). Implikasinya, semakin banyak orang yang ingin sekolah di luar negeri. Anda pikir itu baik untuk bangsa ini?
Dengan melihat tulisan Anda ini sih, saya malah menangkapnya bukan pendidikan di Indonesia yang gagal move on, tetapi Anda adalah contoh produk gagal dari pendidikan di Indonesia. Memalukan.
Anda mau mengubah sistem pendidikan di Indonesia secara langsung? Persiapkan diri dengan baik, daftar PNS untuk Kemendikbud, masuk ke dalam pemerintahan Indonesia, kemudian lihat apa yang bisa Anda lakukan. Daripada mempromosikan diri dengan membuat tulisan semacam ini dan tulisan-tulisan Anda sebelumnya yang juga tidak kalah sembarangannya.
Akhir kata, mohon maaf jika komentar saya ini menyinggung Anda.
Terima kasih ya atas komennya. Saya terus terang tidak tersinggung dengan komentar anda. karena kalau tersinggung justru saya tidak akan approve komen anda ini. Justru dari komen anda, saya yang merasa opini di tulisan saya ini yang menyinggung anda. mohon maaf untuk perbedaan opini saya dengan anda.
Yang saya tulis jelas adalah sebuah opini dari apa yang saya lihat selama saya terjun menjadi trainer ke sekolah2 selama 8 tahun. Mungkin pengalaman saya yang berbeda dengan pengalaman anda sebagai guru di sekolah membuat kita mempunyai pandangan dan opini yang berbeda. Tetapi perbedaan pandangan ini tidak menjadikan opini saya salah ataupun opini mbak yang salah. Kita berbeda pendapat karena melihat dari 2 posisi yang berbeda, dan mungkin sekali 2 pendapat yang berbeda itu bisa benar di saat yang bersamaan.
Tujuan saya menulis kritik ini dengan tujuan mbak yang menyanggah kritik saya ini sebenarnya sama untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik. Semoga perbedaan opini tidak dipandang sebagai saling serang.
Seandainya anda merasakan ada poin untuk disanggah dan tidak saya cantumkan, tolong ditambahkan agar saya dan para pembaca lainnya bisa mengerti gambaran lebih besar tentang pendidikan Indonesia. Dan saya rasa, untuk mengubah pendidikan, saya tidak perlu menjadi PNS. Karena saya puas dengan posisi saya yang di luar dari sistem, sehingga saya bisa memberikan sebuah pandangan yang berbeda.
terima kasih ya.
Terima kasih atas tanggapannya. Saya akan menanggapi sekali lagi, hanya beberapa isu sebagai contoh saja.
Pertama-tama, betul sekali, isi tulisan ini telah menyinggung profesi saya sebagai guru yang paham betul pendidikan di sekolah dan sejarah perubahan kurikulum di Indonesia.
Menurut saya, tidak ada yang salah dengan kurikulum dan pendidikan di Indonesia. Tidak ada di dalam kurikulum dan sistem pendidikan di Indonesia yang mengatakan bahwa siswa hanya dituntut menghafal. Itu adalah pandangan awam yang tidak pernah dikonfirmasi kepada para guru dan pihak penyusun kurikulum langsung di lapangan. Soal-soal ujian dan praktek pun sekarang sudah sangat banyak yang isinya adalah aplikasi. Jadi, pemikiran Anda inilah yang justru ketinggalan beberapa tahun lamanya.
Isu lain. Anak dituntut duduk diam selama 10 jam pelajaran setiap hari ada tujuannya. Selain memberikan ilmu pengetahuan, sekolah juga berperan sebagai pembentuk sikap kerja dan kepribadian siswa. Duduk diam selama 10 jam pelajaran membuat siswa belajar mengontrol diri dan menempatkan diri dengan baik dalam kondisi “kerja”. Perlu diakui bahwa sebagian besar pekerjaan menuntut ketahanan kerja berjam-jam dalam sehari, walau ada pekerjaan-pekerjaan yang jam kerjanya fleksibel. Selain itu, memang benar pula jika kepribadian anak akan mempengaruhi cara belajarnya. Tetapi, jika harus melihat satu per satu kepribadian siswa dan menyesuaikan gaya pendidikan dengan kepribadian mereka, rasanya sangat jauh dari masuk akal. Jika semua gaya mengajar dijadikan fleksibel, kami tidak siap menghasilkan anak-anak bangsa yang tidak terbiasa disiplin dengan waktu dan tidak memiliki ketahanan kerja.
Banyak orang berani berpendapat seperti Anda, namun sedikit yang mau betul-betul bergerak menyatakan perubahan di lapangan. Untuk memajukan pendidikan di Indonesia, perlu campur tangan dari berbagai bidang ilmu (komunikasi, psikologi, bahkan bidang-bidang yang mungkin kelihatannya tidak terkait, seperti matematika dan fisika untuk dapat dipinjam pola berpikir yang sangat runut dan sistematisnya sebagai keunggulan bidang ilmu tersebut). Para guru dan pemangku jabatan di Kemendikbud kebanyakan berasal dari bidang ilmu pendidikan dan keguruan.
Saran yang Anda berikan pada tulisan ini sangat bagus, mengenai contoh menjadi fasilitator. Namun, menerapkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan karena cara mengajar kami pun terikat pada aturan dan sistem. Oleh siapa aturan dan sistem tersebut dibuat? Oleh para praktisi, Doktor, dan peneliti di bidang pendidikan yang sudah melakukan riset dan studi banding ke negara-negara lain. Saya tahu dan paham betul bahwa tidak semua pejabat kita bekerja dengan semestinya. Namun, saya yakin ada orang-orang yang memang betul-betul berjuang melakukan riset dan menetapkan kebijakan pendidikan demi mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, lagi-lagi, apalah gunanya jika Anda hanya berkoar di sini dan tidak mengambil tindakan? Kritis di sini-sana, tanpa bergerak langsung kepada sumber masalah. Semoga Anda tetap akan puas seterusnya dengan posisi Anda sekarang, tetapi saya berharap ada orang-orang lain dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan seperti Anda yang tidak hanya mengkritik dan menulis tulisan tanpa riset yang jelas, namun bergerak di lapangan walaupun tidak ada orang yang mengenal dirinya.
Saya kurang tahu apakah Anda sudah memiliki anak atau belum, Namun dari gaya Anda bertutur mengenai pendidikan di Indonesia, sepertinya Anda belum memiliki anak. Setelah menjadi orangtua dan mulai menyekolahkan anak, biasanya seseorang baru akan betul-betul memahami sistem pendidikan karena peduli benar dengan kondisi anaknya di sekolah. Semoga suatu hari saat Anda memiliki anak, Anda bisa melihat langsung dan memahami pendidikan di negeri ini, dengan segala kemajuan dan keterbatasannya, sehingga suatu hari, Anda bisa menuturkan tulisan lain yang menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia sudah move on.
Terima kasih banyak. Saya sudahi komentar saya ini.
Wah terima kasih sudah kembali memberikan banyak sekali gambaran yang berbeda dgn opini saya. Namun saya sangat menyayangkan anda banyak sekali memberikan judgement kepada saya seperti saya tidak melakukan apapun terhadap perjuangan memperbaiki pendidikan, padahal kita berdua tidak saling kenal dengan kegiatan sehari-harinya. Hanya itu yang saya sayangkan.
Kemudian biarkan saya memberikan beberapa argumen saya.
1. Soal 10 jam di kelas. Finland adalah negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Padahal di negara itu anak-anaknya tidak punya PR, tidak lama waktu di sekolah. Ini kutipan yg saya dapat dari sumber di [ http://www.smithsonianmag.com/innovation/why-are-finlands-schools-successful-49859555/?page=2 ]
“Teachers in Finland spend fewer hours at school each day and spend less time in classrooms than American teachers. Teachers use the extra time to build curriculums and assess their students. Children spend far more time playing outside, even in the depths of winter. Homework is minimal. Compulsory schooling does not begin until age 7. “We have no hurry,” said Louhivuori. “Children learn better when they are ready. Why stress them out?””
Bahkan ada hal menarik, masih dari sumber yang sama, kalau ternyata di Finland tidak ada ujian lulusan yang terstandarisasi. “here are no mandated standardized tests in Finland, apart from one exam at the end of students’ senior year in high school. There are no rankings, no comparisons or competition between students, schools or regions.”
2) Dan soal generasi Z, ini 1 dari beberapa sumber saya (silakan didownload) : http://www.kpu.ca/sites/default/files/Teaching%20and%20Learning/TD.3.2_Berk_Teaching_Strategies_for_Net_Generation.pdf
Ternyata saya punya sumber dalam menulis ini ya. 🙂
Mungkin anda bisa berkata kalau ini adalah negara lain dan berbeda penerapan di kita. Tetapi saya berkata, kalau negara lain bisa seperti ini, mengapa kita tidak bisa.
Soal fasilitator, terima kasih sudah mengatakan itu hal baik. Dan saya setuju itu tidak mudah. Perubahan tidak ada yang mudah. Tapi semoga ketidakmudahan bukan menjadi alasan untuk berubah.
Saya yakin mbak Agatha adalah guru yang sangat passionate dalam mengajar dan memikirkan pendidikan Indonesia. Semoga Ibu bisa mengedukasi orang lain yang kurang paham progress penyusunan kurikulum Indonesia seperti saya yang awam ini. Dan orang awam itu banyak sekali Bu. Jadi alangkah baiknya kalau terus disounding kemajuannya.
Terima kasih Bu.
Halo! 🙂
Sebelumnya salam kenal. Saya Jessica. Saya juga seorang trainer yang sering terjun ke banyak sekolah di jabodetabek.
Saya adalah salah satu orang yang me-RT dan like tulisan ini di banyak media sosial. Tulisan ini banyak sekali di-RT dan di-like. Sampai sore ini saya kebanjiran ratusan notification di berbagai media sosial.
Sejauh yang saya pahami, orang hanya akan me-retweet atau like ketika orang tersebut merasa opininya tersuarakan atau terwakili.. Merasa sepaham dan setuju.
Maksud saya, ketika ada puluhan orang yang merasa sepaham dengan tulisan ini… Sepertinya opini yang disampaikan melalui tulisan ini sangat patut untuk dipertimbangkan.
Anda menulis:
“Mungkin anda bisa berkata kalau ini adalah negara lain dan berbeda penerapan di kita. Tetapi saya berkata, kalau negara lain bisa seperti ini, mengapa kita tidak bisa.” –> Maaf, saya tidak tidak berpikir dan tidak MUNGKIN berkata seperti ini. Kondisi di luar negeri dan di Indonesia sama saja. Makanya kurikulum juga dibangun berdasarkan studi banding dengan negara-negara di luar Indonesia. Mungkin justru Anda yang punya judgement tersebut dan pesimis dengan pendidikan di Indonesia seperti isi tulisan Anda ini, tetapi menumpahkannya ke saya. Proyeksi, Pak?
Lain kali semoga sumber yang lebih terpercaya dan formal, hasil riset, juga bisa ditulis di dalam artikelnya. Jadi, bukan cuma ada sumber tautan nama stand up comedian. Masa harus dikritik dan ditanya dulu baru disampaikan? Bukankah di sekolah dan di perkuliahan, Anda diajarkan bahwa harus selalu menaruh sumber ketika menulis sesuatu berdasarkan sumber tersebut?
Kalau komentar saya ini tidak mau di-approve tidak apa-apa. Terima kasih.
Tentu saya approve komen ibu. Mengapa tidak? Ini bentuk sebuah diskusi, di mana 2 atau lebih opini yang berbeda dapat bertemu titik kesepahaman. Dengan komen ibu, byk info lain yang dapat diketahui oleh orang lain. Dan justru saya berterima kasih, krn komen Ibu saya jd bs menjelaskan hal-hal yg tidak terjawab dr tulisan saya. Mgkn hal itu penting untuk diketahui org lain. Seperti halnya apakah motif saya menulis ini.
Motif saya menulis tulisan ini jauh dari pesimis. Saya tidak pesimis apalagi memproyeksikan itu ke ibu. Krn kalau saya pesimis,saya tidak akan menulis masukan ttg pendidikan ditambahkan bbrp saran aplikasi. Saya menulis justru karena saya percaya bahwa pendidikan kita bs berubah ke arah yang lbh baik. Mohon maaf kalau cara penulisan saya buat ibu merasa dijudge oleh saya.
Untuk masukan ibu lainnya, saya ucapkan terima kasih. Saya tentu mengerti ttg aturan pembuatan karya tulis. Saya belajar itu di kuliah,tp mgkn tidak sedalam pengetahuan ibu. Saya dalam blog ini memang dengan sengaja lbh longgar dlm menuliskan sumber, krn dengan pertimbangan pribadi bentuk tulisan ini adl blog yg merupakan isi opini. Terlebih lagi ketika opini tersebut lahir dr hasil pengamatan dan buah pikir saya. (Ini jg sebabnya blogspot tidak dianjurkan sbg acuan karya tulis, krn isinya adalah opini). Saya menuliskan sumbernya hanya ketika sumber lain tersebut saya pakai secara langsung sepenuhnya. Makanya saya tuliskan sumbernya pada gambar yg paling terakhir di post saya dan kutipan standup komedian itu. Itu bukan kata2 saya, tetapi kata-kata ucapan sang komika. Sehingga saya menuliskan sumbernya. Di luar dari blog ini, terlebih dalam karya tulis lainnya dan modul pelatihan buatan saya, saya menuliskan sumber lengkap dengan daftar pustakanya.
Demikian tanggapan saya, bukan untuk menyerang, tetapi berusaha saling bertukar pandangan. Bukankah kondisi bebas beropini dan berdiskusi saling melengkapi tentang opini masing-msing adalah budaya yang baik dalam sebuah pendidikan? Terima kasih atas kesempatan itu.
IMO, setelah membaca artikel ini dan comment-comment yang ada.
1. Jika memang pendidikan Indonesia sudah dibuat berdasarkan studi banding, apakah perubahan yang telah dihasilkan? Terlepas dari kelas 1 SMP jadi kelas 7, EBTANAS jadi UAN, tentunya ada perubahan yang terbesar adalah standar nilai seingat saya. Di SMP lah ada yang disebut sebagai SKBM, yang jika tidak salah ingat pada waktu saya SMA berubah lagi menjadi KKM.
Cast aside the changes that occurred, tujuan dari perubahannya itu apa sih? Apakah sukses menjadikan para pelajar itu cerdas? Atau malah jadi mindless drone that excel at reciting textbooks?
2. “Duduk diam selama 10 jam pelajaran membuat siswa belajar mengontrol diri dan menempatkan diri dengan baik dalam kondisi “kerja””
As far as i know, duduk terlalu lama itu bisa berakibat fatal. Sehingga itulah mengapa maskapai penerbangan selalu menyarankan bagi para penumpangnya untuk bergerak dengan melakukan sedikit ‘senam’ selama penerbangan, untuk mencegah kematian mendadak akibat dari minimnya aktifitas tubuh.
Jika memang dianggap sebagai sumber yang valid dan relevan : http://www.makeuseof.com/tag/4-health-issues-sitting-long-avoid/
Konon katanya, entah dari komik/film/video games mana “mengontrol diri adalah dimana seseorang mampu untuk menggunakan kebebasan yang dimilikinya dengan bertanggungjawab sebagai manusia yang mampu untuk berpikir sendiri.” IMHO, jika diharuskan untuk duduk diam selama 10 jam, maka nampaknya para pelajar ini lebih dekat ke ‘Serf’, ‘Drone’, atau ‘Robot’, dibandingkan dengan ‘Human’ itu sendiri.
Bapak Glenn, terima kasih untuk tanggapannya.
Mengenai poin nomor 1, sistem penilaian masih terus dibenahi. Saya sendiri secara pribadi tidak setuju dengan adanya UAN dan penilaian yang tidak jelas dari mana asalnya, mengingat setiap siswa punya keunggulan dan kelemahan masing-masing. Banyak sekolah yang sekarang sudah membuat raport yang selain bentuknya angka, juga berisi deksripsi pencapaian siswa pada setiap mata pelajaran, sehingga siswa tidak hanya dinilai menggunakan angka, tetapi bisa dibahas kelemahan dan kelebihannya pada setiap pelajaran. Sistem penilaian di sekolah sampai sekarang masih jauh dari sempurna. Kami para guru pun berpendapat demikian. Tidak ada maksud membela sistem pendidikan di Indonesia yang memang masih perlu dibenahi, tetapi saya berharap kemajuan yang sudah ada bisa dilihat dan disoroti, selain kelemahannya. Apakah Anda memiliki ide lain untuk menjawab poin nomor 1? Mungkin bisa diajukan ke Kemendikbud?
Mengenai duduk diam selama 10 jam pelajaran, saya kaget sekali bahwa Bapak menerjemahkannya secara harafiah. Apakah dulu ketika sekolah, Bapak diharuskan duduk diam di kelas tanpa boleh bergerak? Mereka tetap bisa bergerak di dalam kelas, tidak diikat, dipakaikan sabuk pengaman, atau dilarang bergerak, Pak. Sama seperti ketika Bapak sekolah dulu. Posisi antar bangku pun cukup lega sehingga mereka punya ruang gerak, tidak seperti di pesawat. Mereka tetap bergerak selama di kelas, dan ada jam istirahat. Jam pelajaran tertentu, mereka beraktivitas. Bukan hanya olahraga atau seni musik atau seni gambar, di pelajaran sejarah dan fisika pun misalnya, siswa bergerak untuk melakukan eksperimen, story telling dan sebagainya. Tapi tetap, konteksnya adalah formal tatap muka di kelas, disiplin, jadi mereka “duduk” pada tempatnya masing-masing. Jika sedang di lab, ya berada di posisi masing-masing. Mudah-mudahan tidak diterjemahkan harafiah lagi ya istilah duduk yang saya gunakan di atas. Nanti ditanggapi dengan aturan maskapai penerbangan yang jelas-jelas tidak berkaitan. Beberapa sekolah juga menerapkan sistem running class, di mana setiap pergantian jam pelajaran, siswa harus pindah kelas, sesuai kelas mata pelajaran selanjutnya tempat guru mata pelajaran tersebut berada dan peralatan yang terkait dengan mata pelajaran tersebut tersedia. Ketika berpindah itu juga mereka pasti bergerak, tetapi saat tiba di kelas, ya kembali tertib. Masa iya, mau diijinkan lari ke sana ke mari selama pelajaran ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung?
Begitu juga mengenai mengontrol diri, semoga terjawab ya dari pendapat saya di atas. Para siswa tidak diam non-stop seperti diikat selama 10 jam pelajaran di sekolah. Mereka juga memiliki kebebasan, diperbolehkan bertanya, disediakan sesi diskusi, diizinkan berkomentar selama pelajaran berlangsung, sesuai struktur proses belajar mengajar di kelas. Belum lagi di luar kelas, PR siswa sekarang tidak seperti jaman dulu yang hanya ditulis di buku. Siswa bebas berkreasi membuat poster, presentasi, video, dll, yang membuat mereka tidak seperti robot yang hanya bisa menghafal dan menjawab soal. Itu yang maksud saya membentuk sikap kerja dan kontrol diri yang baik. Setiap pekerjaan memiliki struktur. Pekerjaan paling fleksibel sekalipun ada strukturnya. Mencetak siswa-siswa yang memiliki pengetahuan yang luhur serta sikap kerja yang terpuji adalah harapan setiap guru dari jenjang pendidikan paling rendah hingga yang tertinggi.
Setelah membaca tulisan ini dan komentar2 di bawahnya… ada pertanyaan dalam kepala saya. Ini yang disoroti/dibahas tentang pendidikan di Indonesia atau pendidikan di pulau Jawa?
Terima kasih munadryaslam untuk pertanyaannya.
Tentunya ini adalah gambaran pendidikan di Indonesia, bukan hanya di Jawa apalagi hanya di Jakarta.
Jadi memang sebagian sekolah sudah pasti ada yang melakukan apa yang saya tuliskan, tetapi sayangnya itu masih sebagian kecil sekali dan belum menjadi norma umum di Indonesia.
Tapi pak, begini… saya setuju dengan generasi Z yg dimaksudkan… memang perkembangan teknologi tak bisa dihindari, tapi itu hanya berlaku di kota2 besar dengan akses internet yang mudah, tapi bagaimana dengan yg di daerah2, yg belum bisa mengakses internet? Tentu perlakuannya juga berbeda dan sudah pasti ini lebih menuntut kreativitas para guru untuk membuat pelajaran lebih bermakna. Adapun tentang kurikulum, saya masih awam tentang bagaimana perkembangan kurikulum itu, bagaimana kemudian kurikulum itu disusun, tapi yang ada dalam pikiran saya mungkin sederhana, untuk apa selalu mengubah kurikulum sedangkan kemampuan para pendidik yang tidak pernah ditingkatkan?
Kebanyakan pemerintah itu studi banding ke sana sini kemudian menyusun kurikulum ini dan itu, tapi yang menjadi patokannya mungkin pendidikan di luar negeri. Pertanyaannya, sudahkah kita melihat bagaimana pendidikan dalam negeri berjalan? Sudahkah kita memetakan kebutuhan pendidikan sampai ke pelosok2? Apa yang mereka butuhkan?
Kalau yang disampaikan ibu Agatha itu, maaf… saya bersyukur masih ada yg tersinggung terkait profesinya, tapi seperti itulah kenyataannya. Ibu Agatha itu pastinya guru profesional, entah guru di sekolah swasta atau negeri. Entah beliau PNS atau bukan. Mengubah sistem pendidikan itu tidak mudah jika hanya dengan masuk ke dalam sistemnya. Mendaftar PNS pun tak semudah yang ibu Agatha katakan. Banyak yang sudah mempersiapkan diri, tapi kemudian tidak bisa lulus menjadi PNS karena masih maraknya praktik KKN dalam hal penerimaan PNS.
saya sepakat dengan pernyataan “Kekurangan utama pendidikan kita adalah menciptakan murid yang sekadar tahu dan hafal tanpa pernah mengerti relevansi dan aplikasi pelajaran tersebut dalam hidup.” Ini tidak hanya terjadi di sekolah2 dasar sampai menengah, tapi juga masih terjadi di perguruan tinggi.
munadryaslam, saya sangat senang sekali dengan komen dan opini anda.
Mengenai generasi Z, saya setuju hanya orang di Jakarta dan kota besar yang masuk dengan kriteria generasi Z. Oleh karena itu, saya di poin ke4 tentang yang what, why, how, saya sebutkan kalau cara pengajaran yang mengajarkan relevansi dan cara aplikasi itu harus dilakukan untuk generasi manapun, bukan hanya generasi Z. Bahkan pendekatan itu harus diterapkan dalam mengajar siapapun dan di manapun dalam subjek apapun. Itu pendapat saya.
Lalu saya setuju soal perubahan kurikulum tidak diimbangi dengan pengembangan kapasitas guru. Kapasitas kompetensi guru kita di Indonesia sangat tidak berimbang dan merata. Bahkan di Jakarta saja, tidak seimbang kompetensinya antara guru sekolah ternama dgn sekolah negeri.
Saya pernah ngobrol dengan satu guru dari sekolah negeri saat ada project training untuk siswa/i kurang mampu di jakarta kerjasama antara Fakultas saya dulu dengan yayasan dari PEMDA. Beliau cerita kalau masuk menjadi guru awalnya hanya ditawarkan teman, diberi 1 buku PMP untuk dipelajari, besoknya langsung mengajar dilihat kepala sekolah untuk dievaluasi, ternyata baik dan diterima. Catatan, guru itu tidak punya latar belakang pendidikan dalam subjek PMP/kewarganegaraan, tidak pernah mengajar sebelumnya, dan langsung diterima. Saya kaget saat itu, tapi paham karena sekolah kekurangan guru. Guru yang sudah terdidik, tidak mau dengan gaji seadanya.
Jadi melihat kondisi seperti itu, kurikulum sebaik apapun, ketika tidak diimbangi pengembangan kapasitas guru = bahaya.
Terima kasih untuk komentarnya. 🙂
saya bingung mau komentar apa? tapi saya mau tanya saja, “mau dibawa kemana pendidikan kita?”
kok pertanyaannya mirip lirik lagu ya? hahaha..
Bagi saya, tentunya pendidikan kita harus dibawa ke arah yang lebih baik.
Lebih baik ini tentu beragam versi menurut banyak orang. Apa yang tulis dan rekomendasi di tulisan saya adalah versi saya.
Tapi satu hal yang pasti adalah pendidikan kita harus berubah.
Di mulai dari memperhatikan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan guru di seluruh Indonesia.
Karena mereka yang ngajar. kalau kapasitas mereka tidak baik dan tidak sejahtera, bagaimana mungkin mereka mampu mengajar dengan maksimal.
Jadi saya berharap pemerintah mulai bisa memperhatikan itu. Teriakan kritik sudah terlalu banyak, tinggal bagaimana pemerintah menseriusi isu itu.
terima kasih.
Hai, salam kenal, saya guru tetapi bari 10 tahun mengajar, eh tepatnya belajar bersama anak anak. Sekolah saya sebuah Madrasah Aliyah di desa, 80% siswa kurang beruntung, baik dari sisi ekonomi, ataupun kondisi keluarga (broken misalnya)
Saya justru guru yang suka “menyelingkuhi” kurikulum, maksudnya yang saya sampaikan di kelas, kadang suka kemana mana. Saya menyadari sekali ternyata belajar dengan anak anak itu tidak cukup jika hanya menyenangkan, tidak cukup mereka suka berada di kelas bersama saya. Mereka harus menyukai belajarnya, jadi sama siapapun, kapanpun mereka memiliki keingintahunan yang tinggi.
http://www.ameliasari.com/2013/12/tidak-sekolah-no-way.html . Mereka harus tahu makna apapun yang dipelajarinya.
Saya mengakui sekali kurikulum kita belum bisa mengakomodasi dengan tepat tujuan belajar sepanjang hayat. Kurikulum KTSP dan nanti Kurikulum 2013 konsepnya bagus, tetapi merubah paradigma guru, tidak semudah membalik tangan
Berubah memang tidak mudah, namun tidak berubah akan terlindas oleh jaman
Semangaattt!!..(^.^)/..
seru sekali perdebatan pro dan kontra tentang pendidikan di Indonesia ini…
sudut pandang benar-benar mempengaruhi seseorang untuk bisa beropini dan berargumen ya.
terimakasih untuk pembicaraan luarbiasa ini, terutama untuk Ko William dan Ibu Agatha..
saya sebagai calon guru muda juga tidak terlalu yakin bisa melakukan banyak hal diluar dari sistem seperti yang telah banyak dibahas diatas..
akan tetapi, dikarenakan semua dari kita setuju bahwa pendidikan di Indonesia harus bisa lebih baik dari hari ini, saya pun akan berjuang dan belajar terus..
oleh karena kita semua telah berkecimpung dalam dunia ini, itu berarti kita semua memiliki tugas yang sama untuk memperbaiki dan memajukannya juga…
semoga orang lain yang membaca artikel ini melihat semua komentar ini juga agar tidak ‘menelan mentah-mentah’ opini setiap orang dengan like, ReTweet atau semacamnya,,, 😀
Tuhan Memberkati.. 🙂
Halo! Salam kenal. Saya guru SMA Dian Harapan di Jakarta. Pengalaman saya menjadi guru memang masih tergolong sangat muda, saya baru mengajar 3 tahun. Namun, saya yakin yang terpenting bukan sekedar kuantitas pengalaman yang kita miliki, tetapi kualitas pengalaman yang kita miliki. Apakah pengalaman mengajar yang kita miliki diisi dengan FIXED mindset atau GROWTH mindset? Fixed mindset adalah mindset yang hanya berada dalam status quo yang sulit sekali menerima perubahan, Growth Mindset adalah mindset yang selalu mau bertumbuh dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Saya yakin tulisan Pak William bukan bermaksud untuk mengubah pendidikan Indonesia secara instan, tetapi tulisan ini menjadi salah satu pengingat kepada para pendidik untuk memiliki GROWTH mindset yang selalu mau bertumbuh lebih baik lagi. Saya yakin salah satu penyebab pendidikan Indonesia GAGAL MOVE ON adalah banyak pendidik memiliki FIXED mindset yang cenderung menerima situasi tanpa melakukan inovasi. Salah satu kunci perbaikan pendidikan Indonesia adalah ketika guru mau belajar memiliki GROWTH mindset yang mau mencoba memahami generasi muda dan kebutuhannya akan pembelajaran yang bermakna dan relevan.
Kunci memiliki Growth mindset adalah mau terus BELAJAR (LEARN, UNLEARN,RELEARN) yang dapat anda temukan di tulisan saya disini http://edutechpost.wordpress.com/2014/03/31/the-key-of-growth-mindset-learnunlearn-relearn/. Untuk itu, peran pemerintah dan lembaga pendidikan seperti yang dikelola Pak William perlu terus memfokuskan pada penanaman GROWTH mindset ini. Salah satunya dengan memberikan training/professional development yang juga melibatkan guru dan mensimulasikan GROWTH mindset ini. Contoh training yang saya anjurkannya juga dapat dilihat disini http://edutechpost.wordpress.com/2014/03/29/pendekatan-5m-untuk-pelatihan-guru/.
Saya optimis lewat tulisan Pak William ini dan tulisan lainnya yang menginspirasi menjadi pengingat bagi para pendidik bahwa pendidik juga pembelajar seumur hidup yang memiliki GROWTH mindset.
Terima kasih sudah menjelaskan pemikiran saya dengan bahasa penulisan yang berbeda.
Lebih baik judulnya jangan “gagal move on” Pak William S. Budiman. Judulnya “akan segera move on” atau “hampir move on”, hehehe, jadi lebih optimis.
God bless Indonesia.
Saya cuma mau berkomentar kalau kita adalah negara demokrasi dimana semua pihak bebas mengutarakan pendapat dan saya percaya bahwa semua pendapat yang diutarakan di atas sebenarnya mempunyai satu tujuan, yaitu bagaimana membuat sistem pendidikan di Indonesia lebih baik dan menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih berkualitas.
Fakta dimana Indonesia akan memasuki persaingan bebas sebentar lagi, dimana semua orang bebas untuk bekerja di Indonesia (ataupun sebaliknya orang Indonesia bekerja di luar negeri), menjadikan satu alasan sendiri bahwa menjadi pribadi yang berkualitas adalah suatu kebutuhan dasar kalau ingin terus bersaing (bahkan) di dalam negeri sendiri.
Pada kesempatan ini saya mau share tentang pengalaman saya, kebetulan saya diberikan kesempatan dari perusahaan tempat saya bekerja untuk berkuliah selama satu semester (hanya 3 kelas) di salah satu universitas di luar negeri dan kemudian bekerja di perusahaan yang sama di negara tersebut.
Salah satu perbedaan yang signifikan adalah seluruh homework (PR) dan juga makalah (paper) harus disubmit (dikumpulkan) secara online, dan juga sang dosen mempunyai suatu forum diskusi untuk setiap bab / chapter pembelajaran, dimana setiap orang yang aktif akan (atau lebih tepatnya mungkin) mendapatkan tambahan nilai dari si dosen (namanya juga siswa harus diiming-imingi tambahan nilai baru jalan). Kalau sistem online mungkin masih masuk akal, tapi sebagai orang yang sekolah dan kuliah di Indonesia, saya meragukan dan mulai bertanya dalam hati “apa benar ini anak2 bakalan aktif di forum?”. Seiring dengan berjalannya waktu, saya kaget setelah sadar bahwa mahasiswa-mahasiswa di sana sangat antusias dan proaktif untuk mengutarakan pendapat, melakukan research (tanpa disuruh), dsb, dimana lama kelamaan saya pun agak malu dan terdorong untuk ikut berpartisipasi. Disini secara tidak sadar, mahasiswa diajak secara proaktif untuk mencari tahu lebih dahulu, berdiskusi, dan kemudian diakhiri dengan penjelasan dosen di kelas (di Indonesia mungkin sebaliknya, dimana sistemnya langsung ke arah “telling” atau “diberi tahu” seperti digambarkan oleh Pak William di atas).
Masuk ke dunia kerja disini pun tidak kalah mengejutkan. Intinya, saya TIDAK mengatakan bahwa sistem yang satu lebih baik dari yang lain, namun jelas bahwa ada kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem. Dari pengalaman saya bekerja disini, saya merasa bahwa anak-anak muda di negara ini mempunyai wawasan yang lebih luas, berani mengutarakan pendapat, antusias, namun di sisi yang lain cenderung untuk tidak tangguh / tough dan terkadang lebih banyak mengeluh – note: keluhan inipun disampaikan secara lisan (berani berpendapat). Saya mencoba membandingkan mereka dengan diri saya sendiri, dan seperti yang Ibu Agatha katakan, saya merasa bahwa saya lebih bisa mengontrol diri dan menempatkan diri dengan baik dalam kondisi “kerja”, namun di sisi lain, saya cenderung kurang percaya diri untuk mengutarakan pendapat, kurang kritis, dan tidak berpikir jauh ke depan.
Balik lagi ke poin saya sebelumnya, masing-masing sistem mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan saya percaya bahwa mengubah suatu sistem (apalagi kalo drastis) tidak semudah membalikkan telapak tangan – again seperti yang Ibu Agatha katakan di atas. Namun pertanyaan kepada kita semua adalah apakah kita MAU untuk melakukan perubahan secara perlahan, dimana kita mempertahankan apa yang baik yang sudah kita punya sembari memperbaiki aspek-aspek tertentu yg dirasa kurang, salah satunya bisa dengan “mencontek” ide-ide yang sudah dijalankan di negara lain dan terbukti berkualitas. Tentu saja seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah harus berperan, berkerja sama, dan terbuka dalam menerima kritik. Kalau cuma satu yang jalan mah sama juga boong, percis kaya permasalahan macet di Jakarta yang gak pernah tuntas karena kurang kerja sama dari semua pihak. Betul tidak?
Hi, pendapat saya setelah membaca tulisan ini :
1. Sebaiknya artikel ini lebih menajamkan istilah lagi, pada saat anda menyebut : “Pendidikan di Indonesia”, apa sebenarnya yang anda maksud? Karena sistem pendidikan itu lingkupnya luas, ada pendidikan dasar, menengah ataupun pendidikan tinggi. Menurut saya sedikit tidak fair dan “misleading” jika hanya ditulis “Pendidikan di Indonesia” tapi sama seperti tulisan-tulisan sejenis yang lain yang biasanya hanya membahas pendidikan dasar-menengah.
2. Walau bukan ahli pendidikan tapi saya sering merasa bahwa banyak tulisan-tulisan tentang pendidikan di Indonesia sering kali terbentuk secara subjektif oleh penulis, sayangnya sering terkesan melalui pengamatan yang terbatas. Sistem pendidikan di Indonesia ada karena mau tidak mau negara harus bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan secara nasional.
Hal ini menyebabkan adanya standarisasi pendidikan yang diharapkan berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia yang sayangnya sangat majemuk, baik dalam arti struktur budaya, ekonomi, dll. Terlebih lagi jurang perbedaan antara daerah yang sudah maju dengan yang tertinggal sangat lebar. Hal ini menyebabkan point-point anda di atas mungkin valid untuk daerah maju seperti Jakarta tetapi untuk daerah-daerah lain di pelosok Indonesia mungkin akan terkesan “pretentious”. Belum lagi melihat keterbatasan sumber daya negara.
Karena batasan-batasan ini : sistem pendidikan nasional pasti tidak sempurna atau 100% tepat sasaran. Fakta ini menyebabkan artikel-artikel semacam ini sering terasa seperti idiom “beating a dead horse” dan terasa negatif. Hampir tidak pernah saya melihat artikel yang menyebutkan hal-hal yang bagus tentang sistem pendidikan di Indonesia dan bagaimana cara memperbaiki/menambah supaya lebih baik. Mungkin walaupun sedikit, tidak mungkin sistem pendidikan yang ada sekarang 100% buruk kan?
Apalagi jika kita sadar bahwa lembaga pendidikan bukanlah satu-satunya unsur dalam sebuah sistem pendidikan. Ada juga unsur masyarakat dan orang tua yang sayangnya jarang dibahas/dikritisi.
Kritik saya : Sama seperti trending blackcampaign yg marak belakangan ini, mungkin karena lebih mudah menjual hal negatif ke masyarakat daripada beradu hal-hal positif sehingga tulisan-tulisan semacam ini ada. Lebih gampang menyalahkan lembaga/sistem pendidikan daripada melihat dan mengkritisi diri kita sendiri sebagai bagian dari sistem pendidikan secara luas.
Semoga ke depannya, tulisan-tulisan seperti ini dapat diperkaya/dipertajam lagi sehingga kita bisa bersama mencapai sistem pendidikan yang lebih baik bagi Indonesia.
Terima kasih
It is to share how you view such conditions, NOT how smart you explain such things to others..
Thank you.