Catatan Samping TEDx [Part 1] : Jangan Pernah Anggap Remeh Dirimu

Tulisan ini adalah bagian dari serangkaian pembelajaran yang saya refleksikan dari pengalaman saya ketika menjadi Pembicara TEDxBinusUniversity.

Bagian 1.

TED Talks dan TEDx menjadi acara-acara yang sangat saya kagumi dari sejak lama. TED menjadi tempat saya untuk mendapatkan banyak pembelajaran baru, mencari bahan untuk artikel tulisan dan pelatihan/seminar, maupun hanya sekedar untuk terinspirasi dengan ide-ide yang dibagikan di sana oleh para pembicara yang luar biasa. Para pembicara di sana orang-orang yang dianggap merupakan ahli di bidangnya, para peneliti, para penulis, dsb. Sebagian besar penulis buku favorit saya dan orang yang saya kagumi merupakan pembicara di TED atau TEDx.

TEDxSpeakers

Beberapa pembicara-pembicara acara TED atau TEDx di Dunia & Indonesia

Pada tanggal 18 Maret 2017, saya mendapatkan kesempatan untuk bergabung dalam jajaran pembicara TEDx. Saya diundang menjadi pembicara di TEDxBinusUniversity untuk berbicara mengenai topik kebahagiaan. Saya dengan perasaan sangat bersyukur menerima kesempatan ini tanpa perasaan ragu sekalipun. I don’t care if it’s TEDxJakarta or just TEDx(some)University. TEDx is TEDx. This is like a dream come true. Read More

Ujian Bagi Persatuan Indonesia

Saat kita tahu ada seorang suami berselingkuh, itu bukan artinya suami saya pasti berselingkuh. Saat kita dengar ada seorang istri yang membunuh suaminya sendiri, kita sadar istri kita juga bukan artinya pembunuh.

Kita juga sadar adalah sebuah kesalahan ketika kita menuding dan menghukum suami/istri kita sendiri atas perbuatan salah yang dilakukan oleh suami/istri keluarga lain. Karena ketika menuding dan menghukum anggota keluarga kita atas hal yang dia tidak dia perbuat (tapi diperbuat oleh orang lain di keluarga mereka sendiri), maka perpecahan akan terjadi. Kerukunan terganggu.

Bahkan kita seharusnya bersyukur karena punya suami/istri yang lebih baik dari suami/istri keluarga lain tersebut. Berkaca dari kejadian keluarga lain untuk saling berdiskusi agar tercegah kejadian tersebut di keluarga kita.

Keluarga kita adalah keluarga kita. Keluarga orang lain bukanlah keluarga kita. Read More

Belajar Menjadi Bangsa Besar

September 2010 saya berangkat ke Xiamen, China. Saya mendapatkan beasiswa penuh 2 semester untuk jurusan bahasa dari pemerintah China. Sampai saat ini masa saya tinggal di negeri tirai bambu tersebut masih saya anggap sebagai salah satu masa paling membahagiakan dalam hidup saya. Belajar bahasa mandarin, belajar kebudayaan baru, berteman dengan sesama pelajar dari berbagai negara, travel ke beberapa kota di China secara spontan menggunakan kereta api. Tanpa terasa 1 tahun lewat sekejap mata. Padahal masih segar dalam ingatan saya, bagaimana pada bulan September awal tahun lalu, keluarga dan teman terdekat mengantar saya sampai ke Bandara Soekarno-Hatta. Mengantar kepergian saya ke China. Sekarang saya kembali ke Jakarta, Indonesia. Akhirnya saya bisa membayar lunas kerinduan saya makan gado-gado, nasi uduk, nasi kuning, sayur lodeh, minum es cendol, dan sebagainya. Selama saya di China, saya menyadari bahwa negara kita beserta rakyatnya, masih perlu banyak belajar dari negara lain. China hanyalah negara yang “muda” jika dibandingkan Indonesia. China baru berumur 30 tahun sejak berdiri sebagai Republik, sedangkan Indonesia sudah merdeka selama 66 tahun. Jika ingin kita personifikasikan, negara China hanyalah seorang pria dewasa yang bahkan belum terhitung separuh baya. Sedangkan Indonesia adalah seorang kakek berumur 66 tahun. Namun sangat disayangkan sekali perkembangan pembangunan di Indonesia harus kita akui kalah jauh dibanding dengan negara panda ini. Saya menulis ini bukan hendak membanding-bandingkan Indonesia, apalagi menjelek-jelekan Indonesia. Saya mencintai negara Indonesia. Namun untuk bisa maju sebagai sebuah bangsa, saya yakin bahwa kita harus bisa mengakui dan menerima kenyataan bahwa negara kita masih banyak hal yang harus diperbaiki. Belajar dari kelebihan negara lain menjadi salah satu cara tepat untuk dilakukan. Saya yakin banyak dari kita yang juga mempunyai pendapat yang sama. Tetapi saya mempunyai sedikit pandangan berbeda. Belajar dari negara dan bangsa lain tidak akan berguna apabila hanya pemerintahnya saja yang dituntut untuk belajar. Justru yang harus banyak belajar adalah kita, rakyat Indonesia secara keseluruhan. bangsa besar Sebelum beasiswa ini, saya juga pernah pergi ke belajar bahasa mandarin selama 1 bulan saat libur sekolah di Beijing pada tahun 1999. Saat itu usia saya adalah 14 tahun. Saat saya pergi tersebut saya melihat Beijing (Ibukota China) lebih buruk, lebih tertinggal dan lebih berantakan dibandingkan Jakarta. Sekarang, 12 tahun kemudian, kota tempat saya belajar yaitu Xiamen bahkan jauh lebih bagus, lebih tertata, lebih maju dan lebih bersih dibandingkan Jakarta. Xiamen adalah kota kecil seperti Batam. Sedangkan Jakarta adalah Ibukota, di mana merupakan kota terbesar dan termaju di di Indonesia. Kota terbesar di Indonesia kalah maju, kalah bersih dan kalah rapih dibandingkan kota kecil di China. Terus terang saya sempat berasa malu ketika pertama kali di Xiamen dan memikirkan kembali kota Jakarta. Sejak 14 tahun lalu sampai hari ini, kondisi Jakarta masih tidak ada perubahan yang signifikan, kecuali jumlah Mall dan Seven Eleven. Sedangkan kondisi angkutan umum di Jakarta tidak ada perubahan yang signifikan. Kedisiplinan masyarakat Jakarta masih sama saja; tidak ada perubahan. Jalanan di Jakarta masih sangat semerawut dengan segala pelanggaran lalu lintasnya. Dalam waktu 14 tahun, Jakarta seperti “gerak jalan”, namun China dalam 14 tahun seperti “berlari kesetanan”. Demi teman-teman mampu membayangkan kemajuan China, mari saya tuliskan beberapa kemajuan tersebut. Read More