Sampai saat tulisan ini saya keluarkan, saya masih mengalami kesulitan dalam menjelaskan pekerjaan saya kepada orang lain, baik orangtua, saudara, teman-teman sekolah maupun banyak orang lainnya. Pekerjaan saya adalah trainer dan saya mulai menjalani profesi ini sejak masih di bangku kuliah. Hampir setiap orang yang mendengar profesi saya, pertanyaan aneh ataupun kesimpulan aneh lainnya banyak bermunculan, seperti : “Oh MC kerjanya!”, “Jadi trainer kaya di fitnes gitu?”, sampai paling dekat itu “oh guru…”.
Frustasi rasanya kalau harus menjelaskan profesi saya. Untunglah belakangan para motivator mulai bermunculan, salah satunya adalah Mario Teguh dengan “salam supernya” yang terkenal itu. Saya menjadi memiliki cara sederhana dalam menjelaskan pekerjaan saya : “Saya Mario Teguh, tapi berambut!”. Walaupun tetap tidak menjelaskan dengan tepat profesi saya, tetapi semua yang bertanya selalu langsung mendapat gambaran besar pekerjaan saya.
Saya sangat memaklumi kondisi tersebut, karena memang 10 tahun yang lalu sekitar tahun 2004, profesi trainer ini masih sangat minim bahkan belum ada. Kondisi yang sama juga terlihat untuk banyak profesi pekerjaan lain yang banyak dibutuhkan tahun 2014, tetapi belum ada pada saat 10 tahun lalu, bahkan 4 tahun lalu. Contoh profesi tersebut di Indonesia antara lain :
- Social Media Strategists
- App Developer
- Personal Branding Consultant
- Overseas Study Admissions Counselor
- Stand Up Comedian
Hal ini disebabkan dengan terus berevolusinya ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian berdampak pada berkembangnya kebutuhan manusia. Perubahan tersebut terjadi sangat cepat baik kita sadari maupun tidak. Berdasarkan hasil survey menunjukkan bahwa 10 besar profesi pekerjaan yang paling dicari pada tahun 2010, belum ada pada tahun 2004.
Gordon Moore, co-foundernya intel pernah mengeluarkan sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai Dalil Moore (Moore’s Law), yang berbunyi : informasi terus berlipat ganda setiap 12-18 bulan. Dengan kata lain apabila anda seseorang mahasiswa dengan masa studi 4 tahun, maka informasi (hasil penelitian, dsb) yang dipelajari pada tahun 1 akan menjadi “kadaluarsa” pada kuliah tahun ketiga.
*informasi grafik lengkap dapat dilihat diklik di sini
Melihat hasil survey tersebut, dapat disimpulkan bahwa saat ini kita semua, terutama para orangtua dan guru di sekolah saat ini sedang berusaha mendidik dan mempersiapkan anak-anak dan remaja untuk :
- menjalankan profesi dan pekerjaan yang belum eksis,
- menggunakan teknologi yang belum diciptakan,
- mengatasi masalah yang kita semua belum menyadari hal tersebut adalah masalah.
Pertanyaan yang muncul adalah : Apakah kita dengan sistem pendidikan sekolah yang ada saat ini sudah mampu menjawab kebutuhan tersebut?
Kenapa pertanyaan tersebut muncul dalam diri saya? Ijinkan saya menjelaskan jalan pemikiran saya.
Untuk dapat mempersiapkan seorang anak untuk dapat terus memiliki keunggulan kompetitif pada saat dirinya bekerja, maka anak tersebut harus terus mempelajari informasi-informasi, teknologi dan keahlian baru setiap saat beriring dengan perubahan informasi sepanjang dirinya hidup. Untuk itu dibutuhkan sebuah minat belajar yang besar dan konsisten dari seseorang anak dan inisiatif belajar mencari informasi baru dari berbagai sumber tanpa diminta.
Sayangnya saya melihat sejauh ini berdasarkan pengalaman saya menjadi trainer untuk anak dan remaja selama 8 tahun terakhir, salah satu hal yang bisa menimbulkan minat dan inisiatif yang tinggi tersebut di anak-anak bukanlah guru di sekolah, melainkan video games!
Pada saat bermain video games :
- Anak-anak bisa dengan sangat disiplin untuk bermain games setiap hari sepulang sekolah tanpa disuruh.
- Tidak sabar untuk bermain permainan tersebut bahkan saat sedang melakukan pekerjaan lain.
- Ketika menghadapi masalah dalam permainan, anak-anak dapat secara inisiatif mencari cara termudah untuk mengatasinya. Bisa bertanya dan berdiskusi serius dalam kelompok, browsing di internet, membeli dan membaca dengan teliti buku petunjuk permainan yang cukup tebal.
- Pantang menyerah ketika menghadapi masalah (seperti : sulit naik level di games) dan terus mencoba.
Video games secara konsisten selama bertahun-tahun telah mendidik anak-anak untuk memiliki sikap dan antusiasme yang seharusnya peran tersebut dilakukan oleh sekolah.
Bagi saya pribadi, tugas utama sekolah adalah menumbuhkan minat belajar dan meningkatkan keahlian untuk belajar dari para peserta didik. Namun yang terjadi saat ini adalah guru-guru di sekolah hanyalah mengajarkan kepada para peserta didik sebuah ilmu pengetahuan dan informasi yang dapat diakses dengan mudah dan cepat dari sebuah smartphone dan google. Bahkan informasi yang diajarkan di sekolah hanya mengalami perubahan yang tidak signifikan dari jaman Ayah Ibu saya sampai generasi anak-anak saat ini.
Tugas sekolah dan guru bukan untuk menyuapi, tapi untuk mengajarkan siswa :
- Bagaimana caranya mencari informasi mentah dan cara mengolahnya sehingga menjadi berguna. Jangan musuhi google dan gadget, tapi ajarkan bagaimana menggunakan internet dan gadget dalam belajar. Sayangnya banyak guru (bahkan di sekolah unggulan) yang gaptek atau gagap teknologi.
- Tanamkan rasa lapar akan informasi dan ilmu pengetahuan. Tanamkan sebuah makna dalam belajar, sehingga setiap anak akan dengan sendirinya akan terdorong untuk belajar. Buat pelajaran dan belajar bukan hanya sebuah kewajiban yang membosankan, tetapi sebuah proses yang menyenangkan dan penuh keajaiban.
Sayangnya kembali, entah apa yang terjadi dengan sistem pendidikan kita. Bukannya menumbuhkan minat belajar, sekolah sepertinya telah menjadikan “belajar” sebagai sebuah hal yang negatif dan tidak menyenangkan di kepala anak-anak. Hal ini berimbas pada kehilangan minat akan belajar itu sendiri. Aethra Learning Center selama tahun 2013 membagikan survey kepada hampir 2000 peserta training di Jakarta. Hasil yang kita dapat cukup mencengangkan, yaitu 44% anak merasa belajar adalah hal yang tidak menyenangkan untuk dilakukan.
Kondisi inilah yang akhirnya membuat saya bertanya-tanya, apakah sistem pendidikan kita sanggup menjawab kebutuhan masa depan anak-anak kita? Apakah sistem pendidikan kita mampu melahirkan generasi yang mampu bersaing dengan bangsa lain?
Saya rasa jawaban tersebut harus dijawab masing-masing dengan pemahamannya sendiri. Namun jika anda bertanya kepada saya, maka saya akan menjawab : sistem pendidikan kita harus berubah!
Sudah saatnya sekolah dan guru-guru mengajarkan lebih tentang why dan how, dibandingkan hanya mengajarkan what. Biarkan what menjadi bagian dari buku dan google.
Saya yakin bahwa guru-guru di Indonesia memiliki kemampuan untuk bisa berubah menjadi lebih baik dengan cara mengajar hal yang tepat. Jangan sampai di mata anak-anak, guru-guru selamanya kalah dengan video games.
Kastena Boshi.
Yup, Video game juga ngajarin kita filosofi hidup, seperti misalnya kalau untuk naek level ke level yang lebih tinggi kita musti kumpulin senjata dulu di level sebelomnya. Atau ada juga video game yang untuk naek ke level selanjutnya kita musti berjuang ngalahin raja monster di level sebelomnya.
Hal-hal seperti ini juga seharusnya ada di sistem pendidikan kita. kalo anak-anak terus-terusan di cekokin ama pelajaran-pelajaran yang ada, kapan mereka berusaha untuk naek ke level yang lebih tinggi 🙂
visit your blog, read an interesting article. thank you friends for sharing and greetings compassion 🙂
You seem to know well how our education system should be, so now I just wonder if you’d mind showing up your ideas about this (our education system).