When The World Just Need a Robot not a Human

irobotSaat ini semakin banyak film yang berusaha menggambarkan tentang peradaban bumi di masa depan. Rata-rata dalam film tersebut digambarkan bahwa robot akan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia di masa depan. Robot akan menjadi “pekerja” yang efisien bagi seluruh pekerjaan manusia, seperti gambar di atas dalam film yang dimainkan oleh Will Smith, yaitu :iRobot.

Robot pada dasarnya adalah sebuah komputer yang diperlengkapi dengan tubuh manusia. Sebuah komputer yang telah diprogram untuk melakukan pekerjaan manusia, baik pekerjaan yang membutuhkan kekuatan tubuh maupun pikiran, dengan kompetensi lebih baik dari manusia. Robot juga tidak akan terdistraksi dengan kepentingan pribadi mereka, sehingga para robot dapat bekerja dengan sangat fokus, bahkan mereka tidak akan protes bila diberi pekerjaan yang banyak! Maka hasil yang diperoleh adalah pekerjaan selesai dengan efisien, efektif, rapih, akuratdan boleh digaransi 0% kesalahan. Bayangkan perusahaan apa dan bos mana yang tidak ingin punya anak buah seperti itu? Basicly we don’t need human to do the human jobs, because robots can do better!

Film-film futurustik tersebut menunjukkan gambaran kita semua akan masa depan. Dengan tuntutan dunia saat ini akan kompetensi dan profesionalitas yang begitu tinggi, maka tidak heran apabila kita membayangkan masa depan tentunya akan memiliki tuntutan yang lebih tinggi lagi dibandingkan masa kini. Maka robot menjadi sebuah konsekuensi logis dalam memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Tapi bagi saya, film tersebut bukanlah sekedar gambaran dan prediksi kita akan masa depan. Bagi saya, film-film tersebut adalah potret masyarakat global saat ini. Sebuah masyarakat yang lebih membutuhkan robot daripada manusia. Dewasa ini kita hidup dalam dunia yang berlandaskan pada kompetensi. Kompetensi pada dasarnya terdiri dari tiga hal, yaitu : pengetahuan, keahlian dan sikap. Masyarakat kita sangat mengagung-agungkan kompetensi, buktinya :

  1. Dalam dunia pendidikan kita mengenal kurikulum berbasis kompetensi.
  2. Dalam dunia bisnis dan industri, Human Resources Development berbasis kompetensi. Syarat penerimaan karyawan biasa berdasarkan kompetensi. Training yang diberikan kepada karyawan semua berbicara tentang kompetensi.
  3. Dalam keluarga bahkan kita dididik dari kecil tentang kompetensi. Anak-anak sejak kecil diberi les untuk keahlian-keahlian, seperti : aritmatika, gambar, super memory, dsb.

are these human?Ketika kita hanya melihat dan menilai pekerja dan manusia dari seberapa kompetensi yang dimilikinya, maka pada saat itu kita sedang melihat manusia sebagai sebuah robot. Robot yang hanya terdiri dari kemampuan/keahlian, pengetahuan dan sikap yang dapat kita input atau program sesuka hati kita. Apabila tidak sesuai dengan harapan, maka robot itu rusak, maka manusia itu rusak dan tidak berguna. Buang / pecat dan cari yang baru. Kita lupa bahwa manusia berbeda dengan robot.

Manusia memiliki emosi dan sisi psikologis. Berbeda dengan robot, manusia harus diperlakukan secara khusus. Sisi psikologis manusia harus sehat, barulah manusia tersebut dapat berfungsi secara optimum. Untuk mengupgrade robot hanya dibutuh install new software/program. Untuk manusia perlu sebuah mental yang sehat, baru pembelajaran yang diberikan akan dapat diserap dengan baik. Dan tetap dibutuhkan mental yang sehat, barulah keahlian yang telah “diinstall” dapat bekerja dengan baik. Sayangnya masyarakat kita saat ini seperti lupa akan hal itu.

Banyak orangtua, guru, pekerja, dan pemimpin yang merasa bahwa kesehatan mental adalah hal remeh. Bagi dunia industri, kesehatan mental seseorang adalah urusan masing-masing pekerja, bukan urusan perusahaan. Urusan perusahaan adalah performa kerja karyawan tersebut. Paradigma ini terbukti dari sebuah email yang diberikan oleh kawan saya yang bekerja sebagai HRD di sebuah perusahaan ternama di Indonesia. Saya menawarkan sebuah program pelatihan yang bertujuan memberikan keahlian bagi karyawan untuk dapat mengelola dan meningkatkan kesehatan mental diri mereka. Jawaban yang saya terima :

“Kirimin gua company profile lu donk.. tar gua kasi ke bagian assessment gua.. kalo training saat ini belom sampe ke arah sana B.. company gua masih ngurusin kompetensi, belom sampe well being org.. mungkin nanti bisa ke arah sana..tapi saat ini kayanya belom d..  kalo bagian assessment gua mungkin bisa tuh pake jasa lu.

Saya sangat sedih membaca balasan email tersebut, karena artinya paradigma tersebut telah sangat kencang membelit  masyarakat kita. Padahal perusahaan tidak akan mendapatkan karyawan dengan performa tinggi apabila mereka tidak sehat mental. Melihat dari kacamata tersebut, maka kesehatan mental / kondisi psikologis karyawan adalah urusan perusahaan paling penting!

Saya hanya bisa berharap : semoga dalam waktu dekat akan bermunculan orang-orang yang berani untuk berpikiran terbuka, berpikiran maju dan berani untuk melepaskan diri dari belitan paradigma ini.

Are you? HappySmile

Mari kita mulai memandang manusia sebagai manusia, bukan robot. Jangan hanya memandang mereka sebagai sekumpulan kompetensi dan keahlian semata, tetapi pandanglah mereka sebagai manusia dengan kebutuhan psikologis. Mari kita peka terhadap kebutuhan psikologis dari anak, keluarga, pasangan, anak buah, dan karyawan kita. Marilah kita bersama-sama menjadi pionir-pionir yang berani melawan paradigma dan meningkatkan kesehatan mental masyarakat kita. Karena kesehatan mental adalah esensi hidup manusia dan juga hak asasi setiap orang.

Mari ubah paradigma kita, karena dunia akan lebih menarik untuk ditinggali bersama manusia, bukan bersama robot. Bantu saya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesehatan psikologis dengan cara cukup share tulisan saya ini di media sosial teman-teman. Cukup klik tombol share di bawah ini. Thanks.

Kastena Boshi

One comment

  1. Jessica Farolan · June 7, 2013

    Gue setuju dengan kita seringkali melupakan emosi sebagai bagian penting dari manusi yang justru sangat butuh dikelola. Udah terlalu banyak training yang mengelola soft skills kita… Keterampilan kita sangat diasah, logika diasah sampai S3 (bahkan sampai S5 kalau bisa juga). Tapi emosinya malah justru tidak cukup cerdas.

    Good writing! =)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.