Belajar Menjadi Bangsa Besar
September 2010 saya berangkat ke Xiamen, China. Saya mendapatkan beasiswa penuh 2 semester untuk jurusan bahasa dari pemerintah China. Sampai saat ini masa saya tinggal di negeri tirai bambu tersebut masih saya anggap sebagai salah satu masa paling membahagiakan dalam hidup saya. Belajar bahasa mandarin, belajar kebudayaan baru, berteman dengan sesama pelajar dari berbagai negara, travel ke beberapa kota di China secara spontan menggunakan kereta api. Tanpa terasa 1 tahun lewat sekejap mata. Padahal masih segar dalam ingatan saya, bagaimana pada bulan September awal tahun lalu, keluarga dan teman terdekat mengantar saya sampai ke Bandara Soekarno-Hatta. Mengantar kepergian saya ke China. Sekarang saya kembali ke Jakarta, Indonesia. Akhirnya saya bisa membayar lunas kerinduan saya makan gado-gado, nasi uduk, nasi kuning, sayur lodeh, minum es cendol, dan sebagainya. Selama saya di China, saya menyadari bahwa negara kita beserta rakyatnya, masih perlu banyak belajar dari negara lain. China hanyalah negara yang “muda” jika dibandingkan Indonesia. China baru berumur 30 tahun sejak berdiri sebagai Republik, sedangkan Indonesia sudah merdeka selama 66 tahun. Jika ingin kita personifikasikan, negara China hanyalah seorang pria dewasa yang bahkan belum terhitung separuh baya. Sedangkan Indonesia adalah seorang kakek berumur 66 tahun. Namun sangat disayangkan sekali perkembangan pembangunan di Indonesia harus kita akui kalah jauh dibanding dengan negara panda ini. Saya menulis ini bukan hendak membanding-bandingkan Indonesia, apalagi menjelek-jelekan Indonesia. Saya mencintai negara Indonesia. Namun untuk bisa maju sebagai sebuah bangsa, saya yakin bahwa kita harus bisa mengakui dan menerima kenyataan bahwa negara kita masih banyak hal yang harus diperbaiki. Belajar dari kelebihan negara lain menjadi salah satu cara tepat untuk dilakukan. Saya yakin banyak dari kita yang juga mempunyai pendapat yang sama. Tetapi saya mempunyai sedikit pandangan berbeda. Belajar dari negara dan bangsa lain tidak akan berguna apabila hanya pemerintahnya saja yang dituntut untuk belajar. Justru yang harus banyak belajar adalah kita, rakyat Indonesia secara keseluruhan. Sebelum beasiswa ini, saya juga pernah pergi ke belajar bahasa mandarin selama 1 bulan saat libur sekolah di Beijing pada tahun 1999. Saat itu usia saya adalah 14 tahun. Saat saya pergi tersebut saya melihat Beijing (Ibukota China) lebih buruk, lebih tertinggal dan lebih berantakan dibandingkan Jakarta. Sekarang, 12 tahun kemudian, kota tempat saya belajar yaitu Xiamen bahkan jauh lebih bagus, lebih tertata, lebih maju dan lebih bersih dibandingkan Jakarta. Xiamen adalah kota kecil seperti Batam. Sedangkan Jakarta adalah Ibukota, di mana merupakan kota terbesar dan termaju di di Indonesia. Kota terbesar di Indonesia kalah maju, kalah bersih dan kalah rapih dibandingkan kota kecil di China. Terus terang saya sempat berasa malu ketika pertama kali di Xiamen dan memikirkan kembali kota Jakarta. Sejak 14 tahun lalu sampai hari ini, kondisi Jakarta masih tidak ada perubahan yang signifikan, kecuali jumlah Mall dan Seven Eleven. Sedangkan kondisi angkutan umum di Jakarta tidak ada perubahan yang signifikan. Kedisiplinan masyarakat Jakarta masih sama saja; tidak ada perubahan. Jalanan di Jakarta masih sangat semerawut dengan segala pelanggaran lalu lintasnya. Dalam waktu 14 tahun, Jakarta seperti “gerak jalan”, namun China dalam 14 tahun seperti “berlari kesetanan”. Demi teman-teman mampu membayangkan kemajuan China, mari saya tuliskan beberapa kemajuan tersebut. Read More